Wednesday, September 30, 2009

If Only...

Sabtu lalu, aku bertemu dengan seorang sahabat lama (oh! dan pacarnya juga hehehe...). Hmmm..sudah lama kami nggak ketemu. Awalnya kami janjian untuk nonton Star Trek XI, tapi karena kehabisan tiket, akhirnya kami makan dan ngobrol. Awalnya hanya ngobrol ngalor ngidul, tapi akhirnya kami bicara juga tentang masa depan, rencana-rencana, impian...Akhirnya, temanku bilang, "Ah...pingin balik ke masa kecil ya...nggak mikir apa-apa!" Aku manggut-manggut setuju. Anak kecil, apa sih yang mereka pikirkan? Hanya tertawa, bermain, menangis, dan selalu ada orang tua dan keluarga yang melindungi dan menyiapkan apapun untuk mereka. Nggak perlu mikir, hari ini mau makan apa, ada susu atau nggak...Hanya menjalani satu hari demi satu hari, tanpa harus memikirkan hari esok.

Huff...if only i could turn back time to my childhood :p Can I?

Monday, September 28, 2009

What's Your Plan, Dear Lord? (Part 1)

Huff..last week i didn't post anything in this blog. Not because i'm lazy, but because i got some shocking facts that make my mind exhausted. Those facts forced me to decide something big and important for my future. Actually, those facts also changed my life plan that i built since last year...

Now I'm realizing how small i am...I can make lots of plan for my life, but God can change it easily! Now, I'm -once again- experiencing that my life isn't about what I want or what I dream of. Life is about God and His will, His plan!
Unless the LORD builds the house, they labor in vain who build it;
unless the LORD keeps the city,
the watchman stays awake in vain.
(Psalm 127:4)

Wednesday, September 16, 2009

Saat Aku Merasa Kehilangan (Part II)

Salah satu kebahagiaan seorang dosen adalah saat melihat mahasiswanya naik ke podium untuk diwisuda. Luar biasa senang, terharu, dan bangga, apalagi kalau mahasiswa itu pernah dibimbing atau diajarnya.

Perasaan itu alami 8 Agustus lalu, saat Jurusan Ilmu Komunikasi mengantarkan 71 mahasiswanya untuk diwisuda. Air mataku sempat menitik saat melihat beberapa mahasiswa yang cukup dekat denganku. Akhirnya mereka menyelesaikan satu tahap kehidupan dan melangkah menujU tahap selanjutnya.

Tapi, melewati tanggal itu, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku menjalani kehidupan sehari-hariku, masuk kantor, mengajar, mengerjakan ini dan itu...tapi ada sesuatu yang hilang. Tak ada lagi Felink yang selalu datang dengan penuh semangat, tapi sebenarnya menyembunyikan keputusasaannya. Tak ada lagi Novi si mungil yang selalu tersenyum. Tak ada lagi Jessica yang siap ndlosor di sudut ruanganku dan menggarap skripsinya di sana. Tak ada lagi Eunike yang selalu datang dengan kalimat, "Enggak kok Miss, mau tanya sebentar ae." Tapi toh akhirnya lama juga dia bimbingan hehehe..Tak ada lagi Anton makhluk pendiam dan kalem itu. Kebersamaan kami di masa-masa sulit (Bukankah skripsi tergolong masa sulit untuk mahasiswa? Hehehe..), menciptakan kedekatan yang hangat. Aku melihat dan turut merasakan dinamika hidup mereka sejak masih bersemangat, bingung, tertekan, nyaris putus asa, bangkit kembali, dan berakhir dengan sukacita saat dinyatakan lulus.

Selain mereka, masih ada lagi beberapa mahasiswa yang membuatku merasa kehilangan. Monica, Tata, Synthia, dll, meskipun mereka bukan anak bimbingku, tapi mereka cukup sering berkunjung ke ruanganku.

Mereka pernah mengisi hari-hariku, menjadi bagian hidupku. Kini mereka terbang menggapai impian masing-masing. Ada yang kembali ke kotanya, ada yang merantau ke luar negeri untuk menuntut ilmu, ada yang masih tinggal sekota, ada yang bersiap menjadi seorang istri.

Februari tahun depan, aku akan melepas beberapa anak lagi untuk diwisuda. It means, there will be another goodbye. Aaah, mungkin inilah salah satu 'nggak enaknya' jadi dosen. Aku akan tetap di sini, dan 'burung-burung' yang kuasuh suatu saat akan terbang meninggalkanku...

I miss you guys..

Monday, September 14, 2009

Saat Aku Merasa Kehilangan (Part I)

Duka karena kehilangan seorang anggota keluarga untuk selamanya baru kualami pertama kalinya saat nenekku meninggal 30 Mei lalu. Sebelumnya tentu ada anggota keluarga besarku yang meninggal, tapi aku masih terlalu kecil waktu itu, dan aku juga tak terlalu dekat dengan mereka.

Sampai saat ini, aku masih sering sedih kalau mengingat nenek. Sering aku memimpikannya saat aku merindukannya. Setiap kenangan (barang, tempat, lagu, makanan) yang membawa ingatanku padanya, selalu membuatku menangis. Aku tak pernah melupakan kenangan masa kecilku bersamanya. Aku tak pernah melupakan kunjungan-kunjungannnya ke rumahku, saat kami sudah berpisah rumah dengannya. Aku tak pernah melupakan tahun-tahun terakhir saat dia bergulat dengan sakitnya. Aku tak pernah melupakan hari-hari terakhir, bahkan detik-detik terakhir sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Sampai saat ini, aku belum berhenti menyesal, banyak hal yang belum kulakukan untuknya. Yeah, regrets come too late. Padahal, segudang kenangan yang kumiliki tentangnya, membuatku sadar, betapa banyak yang sudah dilakukannya untukku. Minggu lalu, saat aku mengunjungi makamnya, aku sangat berharap Tuhan memundurkan waktu, sehingga aku bisa menebus setiap kesempatan yang dulu kusia-siakan atau kulewatkan.

Aku tahu, semua penyesalan dan air mataku tidak akan menghidupkannya kembali. Lagipula, aku percaya, saat ini dia sudah tenang di tangan Bapa. Hanya, sikapku sendirilah yang membuatku tak habis menyesal. Terlalu banyak kesempatan yang kulewatkan, terlalu banyak hal yang belum kulakukan untuknya.

Anton bilang, jangan sampai kami mengulangi kesalahan yang sama. Saat ini kami masih dikelilingi orang-orang yang kami sayangi, dan kami harus memakai setiap kesempatan untuk menyatakan rasa sayang kami pada mereka. Sebelum waktu berlalu cepat, dan yang tersisa hanyalah penyesalan..

Jadi, bagaimana denganmu teman? Waktu tak pernah berjalan mundur..Jangan sampai penyesalan datang saat kau sudah kehilangan yang kaucintai.

Thursday, September 10, 2009

Say NO to plagiarism!

Akhir-akhir ini aku getol sekali melatih mahasiswaku untuk menulis dengan benar. Selama hampir dua tahun jadi dosen, gemes sekali rasanya kalau melihat tippo error, atau kalimat-kalimat yang nggak enak dibaca.

Nah, salah satu kesalahan yang banyak dilakukan, tapi tidak disadari adalah asal comot kalimat atau tulisan orang lain tanpa mencantumkan asal sumbernya. Well, mengutip itu nggak salah sih. Itu sah-sah saja dilakukan, asal kita mencantumkan dari mana sumbernya. Kalau nggak, so pasti kita akan dicap sebagai PLAGIAT!! Dan bagi para penulis, itu sangat tidak etis, alias hina sekali. "Haram hukumnya," begitu kataku di kelas Dasar-dasar Jurnalistik. Kurasa, selain aku, pasti semua institusi pendidikan di dunia juga mengajarkan itu pada siswa-siswanya.

Sudah banyak kasus di Indonesia, maupun di luar negeri, ketika seseorang akhirnya harus dikenai sanksi karena melakukan plagiat atau 'mengambil' ide orang lain tanpa meminta izin, atau at least mencantumkan asal sumbernya. Memang, mengutip tulisan orang lain, lirik lagu, script film, atau bahkan gambar dari google atau situs lainnya, sepertinya hal sepele, dan dilakukan hampir semua orang. Tapi sadarkah kita, kalau perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan mencuri, alias mengambil tanpa sepengetahuan si pemilik. Aku sendiri harus belajar keras untuk ini. Kadang aku mengambil foto atau gambar dari internet untuk melengkapi blogku, tanpa menuliskan sumber fotonya. Well, sesegera mungkin aku akan memperbaiki kebiasaan buruk itu.

So friends, sebaiknya mulai sekarang kita belajar menghargai karya orang lain, dan menjaga kejujuran (di jurusanku, sering disebut kejujuran akademis hehe..) dengan mencantumkan sumber. Bukan hanya untuk karya akademis, tapi juga untuk semua karya kita. Tentu kita sendiri juga nggak mau kan, kalau karya kita seenaknya ditiru, dikutip, atau diambil sembarangan oleh orang lain? ;)

Selamat berkarya dengan jujur!

Monday, September 7, 2009

Nasionalis Dadakan

Untuk memenuhi janji pada Valen, aku mesti rajin lagi meng-update blog ini. Lagian, malu dong kalau ngaku dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, konsentrasi Jurnalistik tapi update blog aja males hehehe...

Hmm...sejak rame-ramenya (lagi) kasus tari pendet, terus diikuti isu pelecehan lagu Indonesia Raya, aku sudah pingin menulis sesuatu. Untuk kesekian kalinya, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia memanas. Well, aku nggak mau menambah panasnya suasana dengan mencantumkan sederet bad records tentang isu-isu yang pernah mencuat. Kali ini, yang membuatku tergelitik adalah ramainya respon masyarakat Indonesia. Yah, boleh dibilang itu wajar saja, karena bangsa ini memang selalu nomor satu dalam hal respon. Berbagai forum, baik di TV, radio, milis, blog, bahkan percakapan sehari-hari sibuk mendiskusikan kasus-kasus RI-Malay. Hasilnya? Hampir semua forum sepakat menghujat Malaysia, bahkan kemudia memlesetkan namanya jadi Maling-sia.

Oke, kenyataan bahwa Malaysia beberapa kali mengklaim aset Indonesia, memang membuat kita semua (WNI, red) jadi panas dan gemas. Tapi melihat munculnya nasionalis-nasionalis dadakan terus terang juga membuatku geli! Banyak orang yang selama ini cuek-cuek saja pada negara ini (bahkan mungkin pernah mengomel tentang Indonesia), mendadak muncul sebagai komentator-komentator andal yang mengutuki Malaysia dan menjadi pembela Indonesia. Yang ingin aku tau, apakah dulu (sebelum kasus ini terjadi) orang-orang itu sudah benar-benar mencintai Indonesia? Ada seorang temanku yang ikut memaki-maki Malaysia, tapi beberapa saat lalu waktu ada bom di Jakarta, aku masih ingat dia bilang, "Duh, bom lagi..malu aku jadi WNI!" Nah lho?

Mungkin orang-orang yang sekarang ikut mengutuk Malaysia itu dulunya bahkan nggak tau tari pendet itu dari mana, nggak pernah nyanyi lagu Indonesia Raya waktu upacara, nggak tau letak P. Sipadan&Ligitan. Pokoknya sebelum aset-aset itu diberitakan diklaim oleh Malaysia, bukankah sebetulnya banyak di antara WNI yang nggak tau, nggak peduli, nggak mau tau terhadap kekayaan alam dan budaya Indonesia? Aku pernah baca sebuah liputan tentang Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya di Majalah 'Jalan-jalan'. Resepsionis sebuah hotel di sana kaget waktu melihat reporter majalah itu. "Anda orang Indonesia pertama *selain gadis-gadis yang dibawa bule* yang saya lihat di tempat ini." Kenyataan itu membuatku terhenyak. Padahal, tidak sedikit WNI yang hobi melancong ke luar negeri (termasuk Malaysia tentunya hehehe...), tapi belum pernah menjelajahi sudut-sudut negara ini.

Aku nggak mau munafik. Aku bukan orang yang terlalu nasionalis. Aku tidak terlalu menikmati tari-tarian Indonesia (tapi aku suka lagu-lagu daerah hehehe...). Aku juga sering mengomel tentang Indonesia. Karena itu, waktu kasus Malay-RI yang terakhir, aku nggak terlalu banyak bersuara. Memang jengkel..tapi, aku lebih suka introspeksi diri. Kalau mau mengutuk dan menuntut permintaan maaf Malaysia, biarlah itu jadi tugas pemerintah. Nggak perlu asal ikut-ikutan panas dan berkoar-koar sana-sini. Kalau tahun 1963 dulu, mantan Presiden Soekarno berani meneriakkan "Ganyang Malaysia!", itu karena dia tahu betul -bahkan mengalami- bagaimana sulitnya perjuangan menegakkan kedaulatan NKRI. Tapi sekarang, orang bisa dengan mudah berteriak, "Ganyang Malaysia!" hanya karena ikut-ikutan, atau terbakar emosi semata.

Nah sekarang, daripada menghabiskan energi untuk protes sana-sini, diskusi sana-sini tentang Malaysia, bagaimana kalau kita mulai belajar mencintai Indonesia, menghargai kekayaan budaya dan alam yang diberikan pada Tuhan untuk negeri ini? Bagaimana kalau kita meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Indonesia, lalu mempromosikannya pada teman-teman kita (termasuk yang di luar negeri)?

Kita nggak perlu maju perang menghadapi Malaysia untuk membuktikan nasionalisme kita. Kita hanya perlu bersyukur untuk setiap hal (yang buruk sekalipun), yang diizinkan Tuhan terjadi di Indonesia. Okelah Malaysia salah, tapi mungkin mereka justru lebih tau potensi dan keindahan tari pendet, lagu rasa sayange, P. Sipadan&Ligitan (makanya mereka ambil), daripada kita yang orang Indonesia.

So, kalau kita belum belajar mencintai Indonesia, jangan dulu buru-buru protes kalau ada negara lain yang mengklaim kekayaan kita. Nasionalisme itu bukan sekadar kata-kata atau tindakan sesaat. Nasionalisme itu proses seumur hidup! Selamat belajar untukmu, dan untukku juga.