Untuk memenuhi janji pada Valen, aku mesti rajin lagi meng-update blog ini. Lagian, malu dong kalau ngaku dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, konsentrasi Jurnalistik tapi update blog aja males hehehe... Hmm...sejak rame-ramenya (lagi) kasus tari pendet, terus diikuti isu pelecehan lagu Indonesia Raya, aku sudah pingin menulis sesuatu. Untuk kesekian kalinya, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia memanas.
Well, aku nggak mau menambah panasnya suasana dengan mencantumkan sederet
bad records tentang isu-isu yang pernah mencuat. Kali ini, yang membuatku tergelitik adalah ramainya respon masyarakat Indonesia. Yah, boleh dibilang itu wajar saja, karena bangsa ini memang selalu nomor satu dalam hal respon. Berbagai forum, baik di TV, radio, milis, blog, bahkan percakapan sehari-hari sibuk mendiskusikan kasus-kasus RI-Malay. Hasilnya? Hampir semua forum sepakat menghujat Malaysia, bahkan kemudia memlesetkan namanya jadi
Maling-sia. Oke, kenyataan bahwa Malaysia beberapa kali mengklaim aset Indonesia, memang membuat kita semua (WNI,
red) jadi panas dan gemas. Tapi melihat munculnya nasionalis-nasionalis
dadakan terus terang juga membuatku geli! Banyak orang yang selama ini cuek-cuek saja pada negara ini (bahkan mungkin pernah mengomel tentang Indonesia), mendadak muncul sebagai komentator-komentator andal yang mengutuki Malaysia dan menjadi pembela Indonesia. Yang ingin aku tau, apakah dulu (sebelum kasus ini terjadi) orang-orang itu sudah benar-benar mencintai Indonesia? Ada seorang temanku yang ikut memaki-maki Malaysia, tapi beberapa saat lalu waktu ada bom di Jakarta, aku masih ingat dia bilang, "Duh, bom lagi..malu aku jadi WNI!" Nah lho?
Mungkin orang-orang yang sekarang ikut mengutuk Malaysia itu dulunya bahkan nggak tau tari pendet itu dari mana, nggak pernah nyanyi lagu Indonesia Raya waktu upacara, nggak tau letak P. Sipadan&Ligitan. Pokoknya sebelum aset-aset itu diberitakan diklaim oleh Malaysia, bukankah sebetulnya banyak di antara WNI yang nggak tau, nggak peduli, nggak mau tau terhadap kekayaan alam dan budaya Indonesia? Aku pernah baca sebuah liputan tentang Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya di Majalah 'Jalan-jalan'. Resepsionis sebuah hotel di sana kaget waktu melihat reporter majalah itu.
"Anda orang Indonesia pertama *selain gadis-gadis yang dibawa bule* yang saya lihat di tempat ini." Kenyataan itu membuatku terhenyak. Padahal, tidak sedikit WNI yang hobi melancong ke luar negeri (termasuk Malaysia tentunya hehehe...), tapi belum pernah menjelajahi sudut-sudut negara ini.
Aku nggak mau munafik. Aku bukan orang yang terlalu nasionalis. Aku tidak terlalu menikmati tari-tarian Indonesia (tapi aku suka lagu-lagu daerah hehehe...). Aku juga sering mengomel tentang Indonesia. Karena itu, waktu kasus Malay-RI yang terakhir, aku nggak terlalu banyak bersuara. Memang jengkel..tapi, aku lebih suka introspeksi diri. Kalau mau mengutuk dan menuntut permintaan maaf Malaysia, biarlah itu jadi tugas pemerintah. Nggak perlu asal ikut-ikutan panas dan berkoar-koar sana-sini. Kalau tahun 1963 dulu, mantan Presiden Soekarno berani meneriakkan
"Ganyang Malaysia!", itu karena dia tahu betul -bahkan mengalami- bagaimana sulitnya perjuangan menegakkan kedaulatan NKRI. Tapi sekarang, orang bisa dengan mudah berteriak, "Ganyang Malaysia!" hanya karena ikut-ikutan, atau terbakar emosi semata.
Nah sekarang, daripada menghabiskan energi untuk protes sana-sini, diskusi sana-sini tentang Malaysia, bagaimana kalau kita mulai belajar mencintai Indonesia, menghargai kekayaan budaya dan alam yang diberikan pada Tuhan untuk negeri ini? Bagaimana kalau kita meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Indonesia, lalu mempromosikannya pada teman-teman kita (termasuk yang di luar negeri)?
Kita nggak perlu maju perang menghadapi Malaysia untuk membuktikan nasionalisme kita. Kita hanya perlu bersyukur untuk setiap hal (yang buruk sekalipun), yang diizinkan Tuhan terjadi di Indonesia. Okelah Malaysia salah, tapi mungkin mereka justru lebih tau potensi dan keindahan tari pendet, lagu rasa sayange, P. Sipadan&Ligitan (makanya mereka ambil), daripada kita yang orang Indonesia.
So, kalau kita belum belajar mencintai Indonesia, jangan dulu buru-buru protes kalau ada negara lain yang mengklaim kekayaan kita. Nasionalisme itu bukan sekadar kata-kata atau tindakan sesaat. Nasionalisme itu proses seumur hidup! Selamat belajar untukmu, dan untukku juga.