Monday, December 28, 2009

Lessons I learnt (Part 1)

Time flies so fast!

Tahun 2009 sudah tinggal beberapa hari...

Waktu juga berjalan cepat, untuk umurku :) Sudah seperempat abad lebih satu tahun hehehe..
Setahun ini, banyak hal yang kualami. Tapi kurasa aku hanya akan men-sharing-kan beberapa saja.



Lesson 1: RencanaNya bukan rencanaku
Awal tahun lalu, bahkan sampai dua bulan lalu salah satu fokus pikiranku adalah: STUDI LANJUT. Ya, sebagai seorang dosen, aku punya kewajiban sekaligus kesempatan untuk studi lanjut. Karena aku masih belum menikah, tentu aku memilih untuk studi di luar negeri. Belajar di luar negeri, itu angan-anganku sejak dulu. Saat melihat foto atau mendengar kabar teman-temanku yang sekolah di luar negeri, aku selalu berharap supaya suatu saat aku punya kesempatan seperti mereka. Sekarang kesempatan itu terbuka lebar di depan mata. Aku senang sekali. Aku pun mulai menyusun puzzle masa depanku.

Berbagai persiapan mulai kulakukan. Selain cari info sekolah dan tes TOEFL, aku juga mulai mempersiapkan hati. Maklum, sekolah di luar negeri berarti akan berpisah dengan semua orang yang kusayangi di sini. Buat aku yang belum pernah menetap di luar Surabaya, tentu itu tidak mudah. Risiko long distance relationship dengan pacar pun sudah mulai dibicarakan. Berbagai strategi komunikasi supaya hubungan kami tetap lancar juga sudah direncanakan (maklum, orang komunikasi hehehe...). Pokoknya tinggal beberapa langkah, impianku untuk menuntut ilmu di negeri orang akan tercapai.

Sampai suatu hari...sebuah pertanyaan mengejutkan mengusik rencana-rencana masa depanku. Pertanyaan itu adalah apakah aku bersedia dicalonkan untuk menjadi ketua jurusan (kajur)? Begitu pertanyaan itu dilontarkan, seolah ada sesuatu yang memorakporandakan puzzle yang sedang kususun. “Aku...aku mau sekolah!” Aku masih ingat jelas kalimat pertama yang keluar dari mulutku waktu itu. Aku tahu, di UK Petra, kalau seseorang memegang jabatan sambil studi lanjut, maka studi lanjutnya harus di dalam kota.

Lagipula, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang kajur! Bagiku, menjadi sekjur itu sudah melebihi bayanganku waktu aku melamar di UK Petra. Tak punya bayangan, tak punya kemampuan, dan di atas semua itu: aku ingin sekolah, DI LUAR NEGERI. Seperti teman-teman dosen lain, yang punya kesempatan menimba ilmu di luar sana.

Hari demi hari berlalu, aku berharap pertanyaan tadi hanya sebuah mimpi. Tapi apa daya, pertanyaan itu serius, dan jawabanku juga ditunggu. Aku mulai menjerit kepada Tuhan. “Tuhan, ini apa? Kenapa tiba-tiba ada hal seperti ini? Tuhan aku pingin sekolah di luar, itu impianku...” Aku menangis saat membayangkan susunan puzzle yang tinggal beberapa piece saja.

Saat itu pertanyaan lain diajukan kepadaku. Pacarku sendiri yang menanyakannya.

“Apa tujuanmu sekolah di luar negeri?”

Aku heran mendengar pertanyaan itu. Such a stupid question!

“Ya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, aku kan dosen? Dosen kan minimal S2.”
“Kenapa harus di luar negeri?”
“Ya kan kalau lulusan luar negeri ilmunya lebih banyak dan luas.”
“Selain itu?”

Pertanyaan itu bagaikan godam. Sesaat aku terdiam.
“Karena itu impianku...”
“Dengan sekolah di luar negeri, apa visi Tuhan untukmu?”

Aku terdiam lagi....Sekolah di luar negeri itu angan-anganku, impianku. Lebih jelas lagi? AMBISIKU, OBSESIKU!!! Kalau ditanya tentang visi Tuhan, tentu aku tidak bisa menjawabnya. Wong jelas ini visi pribadiku.

Singkat kata, setelah melalui proses pergumulan yang cukup panjang dan sulit (untukku), aku menyanggupi pencalonan itu. Dan di sinilah aku sekarang. Menjadi seorang Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi. Bukan menjadi calon mahasiswa Hong Kong Baptist University, seperti impianku beberapa bulan lalu.

Satu hal terbesar yang kupelajari dari proses ini: ALLAH sungguh BERDAULAT. Aku yakin, tak seorangpun di sekitarku -bahkan aku sendiri- yang pernah membayangkan aku akan tetap ada di Indonesia, sekolah di Surabaya, menjadi seorang kajur. Tuhan membalikkan rencana-rencanaku semudah orang membalikkan telapak tanganNya. Dia seakan menunjukkan kepadaku WHO’S THE REAL BOSS!! Bukan aku, tapi Dia! Geli rasanya kalau membayangkan rencana-rencanaku dulu, yang kurasa sudah tersusun rapi dan sempurna.

Melalui pergumulan ini, aku kembali ‘dihajar’ Tuhan. Siapakah aku ini di hadapanNya? Apakah rencana manusia yang terbatas dibanding rencanaNya yang sempurna? Aku ini bukan apa-apa. Aku hanyalah ciptaan yang harus tunduk pada Pencipta yang berdaulat penuh. Semula aku protes, aku merasa rencanaku terlihat ‘baik’ bagiku. Hei! Sekolah di luar negeri itu suatu hal yang baik bukan? Tapi ternyata Tuhan sudah menyediakan yang terbaik bagiku, dan aku percaya itu. Meski saat ini aku belum bisa melihat jelas apa yang indah di depan sana.

Menjadi seorang kajur sama sekali tidak gampang. Aku masih muda, penuh kelemahan, kekurangan, jauh sekali dari gambaran ideal seorang pemimpin, apalagi pemimpin sebuah jurusan di universitas. Jauh! Aku juga tahu, jalan di depanku tidak akan mulus-mulus saja. Bahkan belum resmi menjabat saja sudah banyak kasak-kusuk yang tidak enak tentangku. “Orang yang rela menukar kesempatan belajar demi sebuah posisi”, itu salah satu cibiran orang :)

Yah, sebagai manusia pasti lebih mudah buatku untuk jatuh. Tapi sudahlah, there’s no point to return. Aku sudah mengalami sendiri pernyataan kedaulatan Tuhan dalam hidupku. Tak ada satupun yang terjadi di dunia ini –bahkan yang terkecil sekalipun- di luar ketetapan Tuhan. Tanggungjawab ini sudah kuemban. Segala risiko, tantangan, dan kesulitan di depan harus siap aku hadapi, bersama Dia tentunya. Satu kalimat yang kupegang, diucapkan oleh Pak Gito –salah satu hamba Tuhan di gerejaku-, “Life is not about proving something, life is about glorifying God.”


So Lord, here i am , Your servant...
I surrender my life in Your sovereignty


Monday, December 14, 2009

Akhirnya hanya kematian...

Hari ini aku sedih sekali.

Tadi siang, seorang mahasiswa mendatangiku, menyodorkan surat pengunduran diri. Tentu aku tidak langsung menandatangani surat itu, aku perlu berbincang dengannya.

"Kenapa mengundurkan diri?"

"Saya sudah tidak punya kemauan untuk kuliah."

Well, pernyataan itu tidak mengagetkanku. Mungkin separuh dari mahasiswaku memang sudah tidak punya lagi niat untuk kuliah. Bukan jawaban itu yang mengiris hatiku. Kami ngobrol lagi...

"Setelah keluar dari kuliah, apa rencanamu?"

"Nggak ada.."

Aku tertegun. Oke, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi mahasiswa yang mau mengundurkan diri dari kuliah. Tapi ini untuk pertama kalinya aku menghadapi mahasiswa yang tidak punya rencana apapun untuk masa depannya. Selama ini, mahasiswa yang mau mengundurkan diri setidaknya punya rencana untuk transfer jurusan atau universitas, kerja, pindah kota, dan alasan lain semacam itu. Mendengar jawabannya, aku semakin tertarik untuk mengoreknya.

"Kalau hari ini saya menandatangani surat ini, apa yang akan kamu lakukan besok?"

"Hidup, ikuti arus, bukan menentang arus..."

"Kenapa ikut arus?"

"Karena bagiku hidupku cuma akan berakhir di satu titik. Buat apa susah-susah?"

"Dan titik itu?"

"Kematian..selesai! Case closed!"

"Setelah itu?"

"Nggak ada manusia yang bisa memastikan apa yang terjadi setelah itu."

"Manusia nggak bisa, tapi ada satu yang bisa."

Dia diam, hanya tersenyum kosong...

Aku mulai mengerti, sepertinya topik iman, kepercayaan, harapan, bukan topik yang menarik buatnya. Aku mengalihkan topik pembicaraan, aku bertanya tentang keluarganya, hidupnya...

"Aku nggak mau mengemis untuk hidupku. Aku akan berusaha mendapatkan apa yang aku inginkan, tapi tidak dengan meminta atau mengemis."

"Kamu tahu bahwa ada satu hal yang tidak layak kita dapatkan, tapi diberikan pada kita? Bahkan tanpa kita memintanya?"

Dia mengangkat alis...

"That's called GRACE."

Dia terdiam sejenak....

"Kamu percaya itu?"

"Nggak!"

Aku terbelalak...

"Jadi, selama kamu hidup 21 tahun ini, jatuh bangun...apa kamu tidak merasa hidupmu adalah anugerah?"

"Nggak. Hidupku adalah perjuanganku...bukan campur tangan siapapun. Kalau aku bisa hidup sampai sekarang, itu usahaku. Anugerah itu nggak ada. Buat apa berpegang pada sesuatu yang tidak kelihatan?"

"Memang bukan kamu yang berpegang, tapi kamu yang dipegang."

Dia tertawa, sambil menggelengkan kepala.

"Kita beda dalam hal ini, Miss. Dan kita tidak akan menemukan titik temu."

Aku terdiam, menghela nafas. Aku shock, hatiku perih.

Pemuda yang duduk di depanku ini terlihat kuat, gagah, tegar. Melihat tawanya yang lebar, orang dia terlihat tak punya masalah. Tapi bagiku, dia bermasalah! Dan masalah yang dimilikinya adalah masalah terbesar manusia, dari dulu, sekarang, dan selamanya.

Aku masih berbicara beberapa saat dengannya, tapi keputusannya tidak berubah. Aku menyuruhnya pulang lagi, membawa surat pengunduran dirinya.

"Kamu bawa lagi, kamu pikirkan lagi. Sementara itu, saya akan berdoa buat kamu."

Dia tersenyum, lalu pamit pulang.

Hatiku teriris. Ada berapa orang lagi, di luar sana, yang belum mengenal anugerah, menolak anugerah, tidak ambil pusing dengan anugerah. Berapa orang lagi (setidaknya di antara mahasiswaku), yang hidup tanpa tujuan, hanya ikut arus, dan berpikir hidupnya hanya berakhir pada kematian?

Ini salah satu pe-erku. Mungkin untuk melihat fakta inilah Tuhan menempatkanku di sini.

Everyday they pass me by
I can see it in their eyes
Empty people filled with care
Headed who knows where
On they go through private pair
Living fear to fear
Laughter hides their silent cries
Only Jesus hears
Chorus:
People need the Lord
People need the Lord
At the end of broken dreams
He's the open door
People need the Lord
People need the Lord
When will they realize
People need the Lord
We are called to take His light
To a world where wrong seems right
What could be too great a cost for
Sharing life with one who's lost
Through His love our hearts can feel
All the grief they bear
They must hear the words of life
Only we can share
-Chorus-