Monday, March 23, 2009

Ditegur habis-habisan

Tuhan, kudatang tertunduk malu

Engkau lihat kedalaman hatiku

Inilah aku hambaMu,

namun tujuan hidupku hanya melayani diri sendiri

Sesungguhnya ku hamba dunia,

terpikat oleh kesenangan fana,

akan harta dan kuasa, kebanggaan hati

Bri belas kasihMu, o Tuhan

Murnikanku, tekad di hatiku

Agar ku tersadar, menderita denganMu

Murnikanku, arahkan mata hatiku

Agar ku setia, padaMu...

Lagu ini diciptakan oleh Pak Gito, seorang teman yang juga salah satu hamba Tuhan di gerejaku. Ia memintaku menyanyikan lagu ini di kebaktian minggu lalu, sebagai pengantar khotbahnya. Seperti biasa, ia menceritakan padaku tentang makna lirik dan dinamika nada di lagunya. Ini bukan untuk pertama kalinya aku menyanyikan lagu ciptaannya, dan aku selalu senang tiap diminta menyanyikan lagunya. Selalu ada arti di balik setiap kata maupun nada.

Lagu yang ini pun tercipta sebagai buah dari pergumulannya. “Ini pergumulan pribadiku. Aku menangis waktu menciptakan lagu ini. Sadar kalau semua hal yang aku lakukan, bahkan yang baik sekalipun, belum tentu kulakukan untuk memuliakan Tuhan. Aku lebih sering melakukannya untuk diriku sendiri. Aku ini hamba dari diriku sendiri,” jelasnya panjang lebar. Aku tertegun mendengar ucapannya. Sekali lagi kubaca partitur yang sedang kupegang waktu itu...dan aku merasakan pergumulan yang sama. Hati yang tidak murni, kepalsuan jiwa...Sayang, setelah pelayanan di kebaktian itu, aku kembali terseret pada kesibukan kantor. Perenungan akan lirik lagu itu pun menguap. Aku tenggelam dalam rutinitasku.

Akhirnya Minggu siang kemarin, aku punya cukup banyak waktu untuk merenung. Lirik dan melodi lagu itu kembali mengusikku. Tanpa kusadari, aku menangis...tersedu-sedu. Aku tertampar oleh lirik lagu itu. Aku kembali ditegur, betapa tidak murninya hidupku selama ini. Sekalipun aku tidak membuat kesalahan, meskipun aku berusaha melakukan hal-hal baik (bahkan terbaik menurutku), aku melakukannya untuk siapa? Untuk pujian? Untuk sanjungan? Untuk kepentinganku sendiri? Atau untuk Penciptaku, Penebusku? Terngiang kembali khotbah Pak Gito minggu lalu, “Orang yang melakukan kebaikan dengan motif yang tidak murni, jauh lebih jahat dari seorang penjahat.” Mengingat kalimat itu, aku sadar, aku telah menjadi lebih jahat dari seorang penjahat.

Sorenya, di kebaktian, Pdt. Andi Halim –gembala sidangku- melanjutkan khotbahnya dari Mazmur 73:1-3. Ternyata Tuhan begitu baik. Ia kembali menegurku. “Pemazmur sadar, Tuhan itu baik bagi orang yang murni hatinya. Tapi di ayat kedua, pemazmur mengatakan bahwa ia nyaris terpeleset.” Sekali lagi aku tertampar. Saat ini, aku sudah ada di posisi yang sama dengan pemazmur: nyaris terpeleset. Aku hampir kehilangan arah, dan berjalan semakin melenceng dari apa yang Tuhan kehendaki.

Semakin aku mendengarkan khotbah kemarin, semakin aku merasa, Tuhan sedang mengarahkan kembali mata hatiku kepadaNya. Ia sedang menarik aku kembali. Satu lagi kalimat Pak Andi yang sangat menguatkanku, “Tuhan tidak melihat manusia dari target yang sudah dicapainya. Tuhan melihat respon manusia atas tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya.” Aku tertampar –entah untuk keberapa kalinya- oleh kalimat itu. Target! Itulah salah satu penyebab kelelahan dan kekacauanku selama ini. Aku, seperti si pemazmur, tergoda untuk melihat orang lain, membandingkan diri dengan orang lain, memasang target berdasarkan keberhasilan orang lain. Aku -seperti lirik lagu Pak Gito- sudah terjerat oleh kebanggaan dan kesuksesan fana. Pak Andi menguraikan sedikit tentang perumpamaan talenta. Orang yang diberi lima talenta dan dua talenta sama-sama dipuji tuannya, karena mengerjakan tanggung jawab mereka dengan baik. Bukan jumlah talenta yang diperhitungkan, tapi respon terhadap tanggung jawab yang diberikan, itulah yang dinilai.

Oh Tuhan...aku benar-benar malu..Aku sudah terlalu lama disetir oleh motivasi-motivasi yang salah. Hampir terseret ke arah yang salah. Selama ini, aku sepertinya sudah banyak melakukan hal-hal baik, selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin. Tapi itu semua ternyata berujung pada diri sendiri.

Tuhan, aku bersyukur Engkau mengingatkanku..Aku bertekad untuk kembali ke arah yang semula. Berjalan di atas rel yang Kaubuat. Aku tahu, pergumulanku melawan diri sendiri tidaklah mudah. Aku tahu, kondisi lingkungan juga tidak akan mendukungku. Tarikan ke arah yang salah itu akan terasa sangat kuat. Tapi Tuhan, dengan rendah hati aku terus meminta: Murnikanku...arahkan mata hatiku kepadaMu. Hanya Engkau yang bisa menjaga langkahku...agar tetap berjalan di jalanMu...








Thursday, March 19, 2009

3.3.3

Barusan waktu buka blog, tanpa sengaja mataku menangkap tulisan di daisypath'ku. We have been together for 3 years, 3 weeks, and 3 days. Wow!! Hehehe...nggak sadar, ternyata kami sudah bersama selama 3 tahun, 3 minggu, dan 3 hari. Bukan waktu yang singkat, tapi juga belum lama-lama amat (dibanding temenku yang pacaran 11 tahun sebelum akhirnya married hehehe...).


Hm...diriku jadi mengingat-ingat lagi semua momen yang pernah kami lewati bersama (boleh dong sekali-kali saya jadi sentimentil). Dua hari lalu, kami bertengkar hebat (thank God, sekarang sudah baikan). Seperti biasa, akulah pihak yang emosional. Dulu, waktu kami baru jadian beberapa minggu, banyak yang terheran-heran..kok bisa kami jadian?!

Well, sebenarnya bukan hanya orang lain yang kaget. Aku, sampai sekarang pun masih sering takjub, bagaimana bisa seorang Anton dan Nita jadian. We are totally different! Dulu, sebelum pacaran, aku melihat Anton sebagai sosok yang super diam, tenang, bahkan cenderung dingin. Sedangkan diriku? Cerewet, gampang gupuh, dan meledak-ledak. Ah, itu baru satu poin saja...masih banyak perbedaan lain -yang sama sekali tidak terpikirkan untuk bisa disatukan-.

Sekarang, tiga tahun sudah berjalan..Mau tak mau, ada banyak perubahan yang terjadi. Anton ternyata bisa juga jadi manusia yang rame (meskipun kadang cenderung jayus..hehehe...-peace, cho!-). Nita ternyata bisa juga jadi makhluk yang adem hehehe...

Semua perubahan dan penyesuaian itu tentu tidak terjadi begitu saja. Banyak sekali momen-momen, yang waktu itu terasa begitu menyakitkan. Banyak sekali saat-saat kami (terutama aku) menjadi putus asa dan berpikir, "Bisakah ini dilanjutkan? Sampai kapan kami bisa bertahan?" Anton dan aku bukan orang yang gampang mengalah, sama-sama gengsian (gosh! kesamaan yang justru sering menyulitkan hehehe..). So, bisa dibayangkan...pertengkaran-pertengkaran kami sering dilatarbelakangi lagu "Hard to Say I'm Sorry".

Perjalanan kami selama ini memang tidak selalu mulus. Ada banyak rintangan di sana-sini. Tapi toh, kami masih bisa bertahan. Kalau dipikir secara logis, itu sebenarnya nonsense! Justru kenyataan inilah yang membuatku makin sadar. Kalau kami bisa bertahan, itu semua karena kasih karunia Tuhan. Jujur, kalau kami hanya berjalan berdua, kami pasti sudah lama hancur, hubungan ini pasti sudah lama kandas.

So, at this moment..I'd like to say thanks to You, Lord..
Thanks for everything You've done for us in this three wonderful years..
Dear cho, thanks for loving me just the way I am...

Tuesday, March 17, 2009

Bingung milih siapa???

Hal pertama yang ingin ditulis tentu saja permintaan maaf karena sudah cukup lama menghilang (sebulan lebih hehehe....). Maklum, otak lagi dipenuhi berbagai huru-hara. Bulan lalu musim PRS (pendaftaran rencana studi), trus masa kuliah udah mulai aktif...then, disusul segala keruwetan plus keasyikan ngurusi Journalism Clinic. Jadilah blog ini merana karena ditinggal dengan sengaja oleh pemiliknya.

Nah, sekarang masuk ke topik utama! Tentunya teman-teman sudah tidak asing dengan pemandangan di jalan-jalan beberapa bulan terakhir ini. Yup! Spanduk, poster, dan stiker yang berjejer (tanpa aturan) di sepanjang jalan raya. Terpampang wajah-wajah tak dikenal, dengan lambang partai, nomor pilih, dan slogan-slogan yang terkesan menjanjikan. Tapi jujur saja, sampai sekarang...ketika Pemilu Legislatif sudah di depan mata (tiga minggu lagi!), saya masih tak bisa mengingat nama caleg, partai, dan nomornya. Saya jadi bingung, mau milih siapa tanggal 9 April nanti? Bukannya saya nggak mau milih. Saya mau menggunakan hak suara saya. Tapi gimana mau milih, kalau calonnya saja saya tak ingat. Dan bukannya saya tak mau mengingat, cuman memang nggak bisa ingat!!! Di mana-mana wajah-wajah asing terpampang. Dari mana asalnya kita juga tak tahu. Yang bisa dibaca hanyalah pengakuan dan slogan mereka di spanduk atau poster. Itupun tak bisa dijamin kebenarannya kan? Ada yang mengaku asli daerah A, padahal orang-orang daerah A sama sekali tidak merasa mengenal si caleg. Yang paling konyol, minggu lalu aku sempat dengerin Suara Surabaya. Ternyata, untuk menentukan siapa jadi caleg dapil (daerah pilih) mana itu tergantung: UNDIAN!!! Gosh!! Glegarrrr (pinjem istilahnya J).

Nah, sekarang balik lagi ke jumlah caleg yang tak terhitung (karena males ngitung). Kalau yang masih muda dan sehat seperti saya saja tidak bisa mengingat, apalagi warga negara yang udah sepuh?? Mana bisa mereka menjalankan hak pilihnya dengan baik? Partainya segudang (kayaknya Indonesia adalah negara dengan parpol terbanyak sedunia - belum ngecek data sih), calegnya selaut...Gimana milihnya??

Atau...jangan-jangan...memang ada konspirasi tersembunyi yang sengaja membuat warganya banyak yang golput??? Hmm....(garuk-garuk...mikir...)...