Wednesday, April 8, 2009

It's all about love. Really??

Beberapa hari yang lalu ada seorang mahasiswi yang menceritakan pergumulannya tentang pasangan hidup. Yah, aku sadar, topik yang satu itu memang salah satu pergumulan terbesar manusia. Bahkan ada yang bilang, "Memutuskan siapa yang akan jadi pasangan hidupmu adalah keputusan terbesar kedua setelah memutuskan untuk terima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat." Awalnya, bagiku kalimat itu agak berlebihan. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, kalimat itu ada benarnya juga. Nggak mungkin kan kita main-main untuk memutuskan siapa pasangan hidup kita?? Kita pasti akan memikirkannya dengan sangat serius, karena itu menyangkut hari depan kita, for the rest of our life!!



Aku bersyukur karena mahasiswi itu sungguh-sungguh memikirkan masalah pasangan hidup ini. Jujur, aku tidak setuju ketika banyak orang bilang, "Ah, ngapain anak-anak muda pusing mikirin pasangan hidupnya? Yang penting have fun aja. Toh kawin juga masih berapa tahun lagi?! Masih banyak waktu!" Bah! saya sama sekali nggak setuju dengan pendapat seperti itu. Akibat pikiran-pikiran seperti itulah yang bikin anak-anak muda zaman sekarang dengan mudah gonta-ganti pacar. Hari ini mabuk cinta sama si A, lusa sudah putus, dan bergandengan dengan si B. Fuuuh....aku sangat prihatin melihat realita seperti itu. Memutuskan untuk pacaran itu kayak memutuskan beli sandal jepit. Nggak perlu repot, yang penting sekarang suka, kalau sudah bosen, ganti yang lain.

Justru dari muda seharusnya kita udah mikir, seperti apa pasangan hidup yang kita harapkan, mulai mendoakan, mulai bertanya sama Tuhan: Tuhan mau aku cari pasangan yang seperti apa? Kalau belum juga dapet, itu mah urusan lain. God has His own time! Yang penting kita terus memperumulkannya, sambil buka mata lebar-lebar, buka pergaulan yang luas (bukan pergaulan bebas!), sambil berserah penuh sama Tuhan.

Sekarang aku jadi teringat dulu sebelum memutuskan untuk pacaran. Waktu itu Anton dan aku sudah saling tahu kalau kami saling menyukai. Tapi kami sama-sama belum berani mengambil keputusan untuk pacaran. Kami sudah cukup saling kenal waktu itu (cukup, untuk ukuran masa pedekate). Tapi masih ada beberapa hal prinsip dan penting yang kami belum saling tahu. So, waktu itu kami memutuskan untuk saling mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi pijakan terakhir, sebelum kami memutuskan, akan pacaran atau tidak. Inilah daftar perntanyaan kami waktu itu:
1. Apakah keberadaannya (calon pasangan) membawa aku makin dekat dengan Tuhan?
2. Apakah keberadaannya (calon pasangan) membuatku maksimal dalam pelayanan sekarang?
3. Apakah aku bisa bertahan hidup bersamanya (dalam kondisi apapun) sepanjang umurku?
4. Apakah aku siap menerima dia, seburuk apapun nanti?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah mudah. Tapi sekarang aku bersyukur, pertanyaan-pertanyaan itu sampai sekarang (dan akan selalu) menjadi dasar komitmen kami. Kalau kami bertengkar, dan seems no way out, kami ingat lagi pertanyaan-pertanyaan itu. Memang pertengakaran nggak langsung beres. Tapi setidaknya kami diingatkan lagi, apa yang sedang kami perjuangkan dan jalani sekarang ini. Kami nggak hanya sedang cinta-cintaan, pacaran, runtang-runtung berdua. Komitmen awal kami mengingatkan: hubungan kami nggak akan selalu penuh bunga, tapi juga banyak duri. Meskipun ada saat hati kami saling berjauhan karena ada masalah, tapi kami percaya ada Tuhan yang selalu mengikat kami. Pacaran, menikah, bukan melulu tentang cinta. Ini tentang melakukan kehendak Tuhan dalam hubungan pacaran kita, dan kelak dalam pernikahan kita.

So, untuk semua yang sudah, sedang, dan akan bergumul tentang ini, jangan sepelekan pergumulan ini. Jangan sia-siakan hidupmu dengan hubungan-hubungan yang nggak jelas. Bersandar dan berserahlah pada Tuhan. Ini soal masa depanmu, seumur hidupmu! God bless u all!

Tuesday, April 7, 2009

Pedulikah mereka?

Sudah lama aku prihatin pada perkembangan musik Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, kualitasnya makin parah saja. Okelah, kalau masalah melodi, teknik bermusik, de el el, biarlah orang yang paham musik saja yang mengkritisi. Aku bukan orang yang tepat untuk memberi komentar soal itu. So, biarlah aku mengomentarinya dari sisi orang awam.

Dulu, saat dengar lagu-lagu besutan penyanyi-penyanyi Indonesia, saya benci, tidak suka, dan risih. Bayangkan saja, siapa yang nggak risih dengan lirik lagu, "Jadikan aku yang kedua."; "Akulah makhluk Tuhan yang paling sexy."; "Cari pacar lagi.", "Kamu di mana, dengan siapa, sedang berbuat apa blabla..", dan masih banyak puluhan, bahkan ratusan lirik lagu yang liriknya sama sekali tidak membangun. Jangankan menikmati, bahkan untuk mendengarpun kalau bisa aku hindari. Tapi ya sejauh itu sih sikapku pada lagu-lagu Indonesia. Aku nggak berpikir tentang efeknya. Lebih tepatnya udah nggak mau mikir efeknya, soalnya aku yakin lagu-lagu itu nggak akan ngefek ke aku. Wong untuk dengerin aja jijik! Apalagi mikirnya! Capek!

Tapi, sebulan terakhir aku mulai berpikir lagi tentang efek negatif lagu-lagu itu. Gara-garanya, bulan lalu aku mengajak Abi *anak Pak Gito yang baru berumur 4 tahun* jalan-jalan. Kami mengunjungi salah satu toko buku terbesar di Surabaya. Kebetulan waktu itu aku juga ada janji dengan dua mahasiswa untuk bimbingan skripsi. So, daripada berlama-lama di toko buku (dan daripada aku gelap mata pada semua buku yang dipajang), aku mengajak Abi ke cafe di lantai dua. Nggak lama setelah pesan makanan, dua mahasiswaku datang. Otomatis aku nggak bisa perhatiin Abi lagi, aku harus konsentrasi bimbingan. Berhubung Anton belum datang, akhirnya aku minta Abi main sendiri dengan buku gambarnya. Aku pinjami dia spidol-spidolku. Tapi yang namanya anak kecil -apalagi yang hiperaktif kayak Abi-, pasti tidak puas mengerjakan satu jenis aktivitas. Akhirnya matanya teralih ke TV yang dipasang di dinding cafe itu. Aku ikut melirik sebentar, oh ternyata sedang tayangan kartun Mr. Bean. Okelah, nggak masalah, nggak terlalu berbahaya. Aku asyik lagi ngobrol dengan mahasiswaku. Nggak lama kemudian, ternyata tayangan Mr. Bean selesai, dan channel TV rupanya diganti. Aku sempat melirik lagi, aduh..konser musik Indonesia. Aku menggerutu pada muridku, "Malese denger lagu-lagu gini!" Mereka tertawa. Tapi ya apa daya, wong bukan di rumahku, jadi ya nggak bisa ganti channel seenaknya. Lagu berikutnya benar-benar membuatku tersentak! Aku nggak tau pasti judul lagunya, tapi yang jelas di liriknya ada kata 'bajingan', dan itu diulang berkali-kali!! Aku jadi bingung melihat ke Abi. Fyi, Abi ini termasuk sangat cerdas untuk anak umur 4 tahun. Salah satu indikasinya, dia cepat menyerap informasi dan mengulang/menirukan informasi itu. Bayangkan!! Kalau dia berkali-kali mendengar kata 'bajingan', tidakkah kata itu lama-lama akan melekat di otaknya?? Memang sih dia belum ngerti arti kata-kata itu, tapi kan tetap aja itu bukan kata-kata yang mendidik?

Sekarang aku jadi berpikir lagi tentang efek lagu-lagu Indonesia, terutama untuk anak-anak kecil. Akan jadi apa mereka, kalau otaknya dipenuhi lirik-lirik lagu macam itu?? Walaupun mereka belum mengerti apa arti kata-katanya, tapi justru di situlah bahayanya. Bayangkan kata-kata *yang bahkan untuk orang dewasa saja nggak layak* meluncur dari bibir anak-anak kecil. Mereka sekadar meniru, menyanyikannya.

Duh aduh, apa artis-artis, pencipta-pencipta lagu itu nggak mikir bahayanya lagu-lagu mereka itu ya???

*jadi inget, di tayangan TV waktu itu, si penyanyi selalu menyodorkan mic ke arah penonton pada saat kata 'bajingan' dinyanyikan. Gosh!!*