Aku, salah satu dari miliaran manusia di dunia yang larut dalam hingar-bingar WC. Sejak SMP, aku memang doyan nonton sepakbola. Tapi yah, seiring berjalannya usia (haiyaaaah!), kemampuan begadang pun makin menurun. Akhirnya aku hanya melahap event-event khusus (Euro Cup atau World Cup).
Tahun-tahun sebelumnya, aku cinta mati pada Gli Azurri. Tapi di WC 2010 kali ini aku punya tim favorit baru, here they are:
Sayang sekali langkah mereka harus terhenti di semifinal, kalah dari Sang Juara Dunia, Spanyol. Yaah, tak apalah, untuk ukuran tim yang isinya pemain muda dan tak berpengalaman, prestasi juara tiga sudah cukup untuk saat ini. Daaan lagiii, Thomas Mueller dianugerahi Golden Shoe, sekaligus Best Young Player. SENAAANG hehehe....
Sebulan mengikuti pertandingan demi pertandingan (nggak semua siiih, tapi Jerman tanding wajib nonton!!), menggugahku untuk melihat sisi lain dari sepakbola. Seperti yang kutulis di posting sebelumnya, nonton sepakbola nggak hanya nonton 22 orang yang berjibaku di lapangan hijau berebut satu bola, tapi juga menyaksikan salah satu pelajaran hidup yang paling berharga.
Pertandingan sepakbola hanya berlangsung 90 menit, kalaupun masih seri ada perpanjangan 2x15 menit. Kalau masih seri lagi, selesaikan dengan adu penalti. Hasilnya, ada tim yang menang, dan ada yang kalah. Ada yang melaju ke babak selanjutnya, ada yang harus pulang lebih cepat. Menang atau kalah, tergantung siapa yang lebih produktif menyarangkan gol ke gawang lawan selama pertandingan. Begitu wasit meniup peluit, semua selesai. Waktu tak akan kembali lagi, dan hasil pertandingan tak bisa direvisi. Bagi tim yang kalah, yang tersisa hanyalah penyesalan dan beribu kata, "seandainya".
Bisa kubayangkan penyesalan Frank Lampard akan keputusan Wasit Jorge Larrionda yang menganulir golnya ke gawang Jerman di partai perdelapan final. "Seandainya gol tadi sah," pasti kalimat itu berkali-kali melintas di kepala Lampard. Meskipun akhirnya Larrionda dipulangkan dari WC 2010 oleh FIFA, hukuman itu tidak bisa mengubah hasil pertandingan di lapangan. Sejuta kata 'andai' pasti juga melanda Asamoah Gyan yang gagal mengeksekusi penalti ke gawang Uruguay. Penyesalan jugalah yang tergambar di wajah Wesley Sneijder saat pertandingan Belanda vs Spanyol berakhir, dan pemenangnya sudah jelas.
Sejuta penyesalan, beribu kata 'andai' tak akan pernah cukup untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Aku jadi mengingat-ingat, berapa kali aku menyesali apa yang sudah terjadi. Berapa kali aku berkata, "Kalau saja waktu itu..." Tapi berapa kalipun aku menyesal, toh hasilnya sama. Kenyataan tak bisa diubah. Belajar dari pertandingan sepakbola, lakukan yang terbaik dan jangan sia-siakan kesempatan selagi waktu itu masih ada. Selagi peluit belum dibunyikan, dan selagi kita masih mampu melakukan sesuatu.
Bicara tentang sepakbola pasti bicara tentang tim. Karena nggak mungkin kan sepakbola cuma dimainkan oleh kiper saja, striker saja, atau defender saja. So, sehebat-hebatnya skill individu pemain, nggak akan ada artinya tanpa kerjasama tim yang solid. Lihat saja nama-nama besar seperti Christiano Ronaldo atau Lionel Messi yang belum berhasil membawa timnya menuju kemenangan.
The Winning TEAM
Teringat juga olehku ketika Miroslav Klose tidak diturunkan di laga terakhir Jerman saat perebutan tempat ketiga. Bayangkan, saat itu Klose masih punya peluang untuk menambah gol dan meraih Golden Shoe untuk kali kedua. Selain itu, dia juga masih punya peluang untuk menyamai rekor Ronaldo yang mencetak 15 gol selama WC. Saat itu Klose sudah membukukan total 14 gol di WC. Apa daya, impiannya kandas saat pelatih tim Jerman, Joachim Loew tidak menurunkannya saat Jerman melawan Uruguay karena Klose tidak dalam kondisi fisik yang prima.
Kalau jadi Klose, aku pasti sedih sekali. Empat tahun lagi, Klose tidak akan bisa bermain lagi di WC karena usia. WC kali ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengukir prestasi dan mencatatkan namanya dalam sejarah. Tapi kesempatan emas itu hilang karena pelatih tentu lebih memilih keselamatan tim daripada kepentingan seorang pemain. Suka atau tidak suka Klose harus lebih mendahulukan kepentingan tim, bahkan negara di atas ambisi pribadinya. So, forget the indidual glory! Kapan terakhir kali kita memikirkan kepentingan bersama lebih dari kepentingan pribadi kita?
The last thing i want to share is about perfectness. Betapa seringnya kita menuntut diri untuk sempurna, atau merasa diri sempurna. WC 2010 memperlihatkan contoh nyata, there's no perfect team in the world. Argentina, salah satu tim yang diunggulkan, harus menerima kenyataan pahit ketika dibombardir Jerman dengan skor 4-0. Jerman sendiri, meski menjadi tim pencetak gol terbanyak (16 gol), menelan dua kali kekalahan. Yang terparah waktu melawan Spanyol, mereka dibuat tak berkutik oleh sang juara. Belanda si runner up, yang hanya menelan sekali kekalahan, toh membukukan 24 kartu kuning sepanjang WC 2010! Sementara Spanyol, meski akhirnya menjadi juara dunia, pernah menelan sekali kekalahan tak terduga dari tim Swiss. Dua kemenangan terakhirnya (lawan Jerman dan Belanda) diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah. See? Tak ada tim yang sempurna. Begitupun manusia, tak ada yang sempurna. Seseorang bisa punya kelebihan di satu sisi, tapi ada banyak kelemahan di sisi yang lain. Never try to be the best, but try to do our best!
Hahahha...aku baru sadar, tulisan ini belum kuposting sejak tanggal 12 Juli lalu (sehari sesudah World Cup berakhir). Yah, kuharap isinya tidak terlalu kadaluarsa...meskipun momennya sudah hampir hilang. Maafkan saya yang lalai ini hehehe...
1 comment:
Saya cinta Azzurri terutama batch 2006! YAYYY! Saya akan merindukan seluruh skuad 2006 yang perlahan menua dan membusuk. At last, saya akan merindukan Canna, kapten cantik yang sabar dan baik hati. =)
Post a Comment