Tuhan, kudatang tertunduk malu
Engkau lihat kedalaman hatiku
Inilah aku hambaMu,
namun tujuan hidupku hanya melayani diri sendiri
Sesungguhnya ku hamba dunia,
terpikat oleh kesenangan fana,
akan harta dan kuasa, kebanggaan hati
Bri belas kasihMu, o Tuhan
Murnikanku, tekad di hatiku
Agar ku tersadar, menderita denganMu
Murnikanku, arahkan mata hatiku
Agar ku setia, padaMu...
Lagu ini diciptakan oleh Pak Gito, seorang teman yang juga salah satu hamba Tuhan di gerejaku. Ia memintaku menyanyikan lagu ini di kebaktian minggu lalu, sebagai pengantar khotbahnya. Seperti biasa, ia menceritakan padaku tentang makna lirik dan dinamika nada di lagunya. Ini bukan untuk pertama kalinya aku menyanyikan lagu ciptaannya, dan aku selalu senang tiap diminta menyanyikan lagunya. Selalu ada arti di balik setiap kata maupun nada.
Lagu yang ini pun tercipta sebagai buah dari pergumulannya. “Ini pergumulan pribadiku. Aku menangis waktu menciptakan lagu ini. Sadar kalau semua hal yang aku lakukan, bahkan yang baik sekalipun, belum tentu kulakukan untuk memuliakan Tuhan. Aku lebih sering melakukannya untuk diriku sendiri. Aku ini hamba dari diriku sendiri,” jelasnya panjang lebar. Aku tertegun mendengar ucapannya. Sekali lagi kubaca partitur yang sedang kupegang waktu itu...dan aku merasakan pergumulan yang sama. Hati yang tidak murni, kepalsuan jiwa...Sayang, setelah pelayanan di kebaktian itu, aku kembali terseret pada kesibukan kantor. Perenungan akan lirik lagu itu pun menguap. Aku tenggelam dalam rutinitasku.
Akhirnya Minggu siang kemarin, aku punya cukup banyak waktu untuk merenung. Lirik dan melodi lagu itu kembali mengusikku. Tanpa kusadari, aku menangis...tersedu-sedu. Aku tertampar oleh lirik lagu itu. Aku kembali ditegur, betapa tidak murninya hidupku selama ini. Sekalipun aku tidak membuat kesalahan, meskipun aku berusaha melakukan hal-hal baik (bahkan terbaik menurutku), aku melakukannya untuk siapa? Untuk pujian? Untuk sanjungan? Untuk kepentinganku sendiri? Atau untuk Penciptaku, Penebusku? Terngiang kembali khotbah Pak Gito minggu lalu, “Orang yang melakukan kebaikan dengan motif yang tidak murni, jauh lebih jahat dari seorang penjahat.” Mengingat kalimat itu, aku sadar, aku telah menjadi lebih jahat dari seorang penjahat.
Sorenya, di kebaktian, Pdt. Andi Halim –gembala sidangku- melanjutkan khotbahnya dari Mazmur 73:1-3. Ternyata Tuhan begitu baik. Ia kembali menegurku. “Pemazmur sadar, Tuhan itu baik bagi orang yang murni hatinya. Tapi di ayat kedua, pemazmur mengatakan bahwa ia nyaris terpeleset.” Sekali lagi aku tertampar. Saat ini, aku sudah ada di posisi yang sama dengan pemazmur: nyaris terpeleset. Aku hampir kehilangan arah, dan berjalan semakin melenceng dari apa yang Tuhan kehendaki.
Semakin aku mendengarkan khotbah kemarin, semakin aku merasa, Tuhan sedang mengarahkan kembali mata hatiku kepadaNya. Ia sedang menarik aku kembali. Satu lagi kalimat Pak Andi yang sangat menguatkanku, “Tuhan tidak melihat manusia dari target yang sudah dicapainya. Tuhan melihat respon manusia atas tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya.” Aku tertampar –entah untuk keberapa kalinya- oleh kalimat itu. Target! Itulah salah satu penyebab kelelahan dan kekacauanku selama ini. Aku, seperti si pemazmur, tergoda untuk melihat orang lain, membandingkan diri dengan orang lain, memasang target berdasarkan keberhasilan orang lain. Aku -seperti lirik lagu Pak Gito- sudah terjerat oleh kebanggaan dan kesuksesan fana. Pak Andi menguraikan sedikit tentang perumpamaan talenta. Orang yang diberi lima talenta dan dua talenta sama-sama dipuji tuannya, karena mengerjakan tanggung jawab mereka dengan baik. Bukan jumlah talenta yang diperhitungkan, tapi respon terhadap tanggung jawab yang diberikan, itulah yang dinilai.
Oh Tuhan...aku benar-benar malu..Aku sudah terlalu lama disetir oleh motivasi-motivasi yang salah. Hampir terseret ke arah yang salah. Selama ini, aku sepertinya sudah banyak melakukan hal-hal baik, selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin. Tapi itu semua ternyata berujung pada diri sendiri.
Tuhan, aku bersyukur Engkau mengingatkanku..Aku bertekad untuk kembali ke arah yang semula. Berjalan di atas rel yang Kaubuat. Aku tahu, pergumulanku melawan diri sendiri tidaklah mudah. Aku tahu, kondisi lingkungan juga tidak akan mendukungku. Tarikan ke arah yang salah itu akan terasa sangat kuat. Tapi Tuhan, dengan rendah hati aku terus meminta: Murnikanku...arahkan mata hatiku kepadaMu. Hanya Engkau yang bisa menjaga langkahku...agar tetap berjalan di jalanMu...