Beberapa hari yang lalu ada seorang mahasiswi yang menceritakan pergumulannya tentang pasangan hidup. Yah, aku sadar, topik yang satu itu memang salah satu pergumulan terbesar manusia. Bahkan ada yang bilang, "Memutuskan siapa yang akan jadi pasangan hidupmu adalah keputusan terbesar kedua setelah memutuskan untuk terima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat." Awalnya, bagiku kalimat itu agak berlebihan. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, kalimat itu ada benarnya juga. Nggak mungkin kan kita main-main untuk memutuskan siapa pasangan hidup kita?? Kita pasti akan memikirkannya dengan sangat serius, karena itu menyangkut hari depan kita, for the rest of our life!!
Aku bersyukur karena mahasiswi itu sungguh-sungguh memikirkan masalah pasangan hidup ini. Jujur, aku tidak setuju ketika banyak orang bilang, "Ah, ngapain anak-anak muda pusing mikirin pasangan hidupnya? Yang penting have fun aja. Toh kawin juga masih berapa tahun lagi?! Masih banyak waktu!" Bah! saya sama sekali nggak setuju dengan pendapat seperti itu. Akibat pikiran-pikiran seperti itulah yang bikin anak-anak muda zaman sekarang dengan mudah gonta-ganti pacar. Hari ini mabuk cinta sama si A, lusa sudah putus, dan bergandengan dengan si B. Fuuuh....aku sangat prihatin melihat realita seperti itu. Memutuskan untuk pacaran itu kayak memutuskan beli sandal jepit. Nggak perlu repot, yang penting sekarang suka, kalau sudah bosen, ganti yang lain.
Justru dari muda seharusnya kita udah mikir, seperti apa pasangan hidup yang kita harapkan, mulai mendoakan, mulai bertanya sama Tuhan: Tuhan mau aku cari pasangan yang seperti apa? Kalau belum juga dapet, itu mah urusan lain. God has His own time! Yang penting kita terus memperumulkannya, sambil buka mata lebar-lebar, buka pergaulan yang luas (bukan pergaulan bebas!), sambil berserah penuh sama Tuhan.
Sekarang aku jadi teringat dulu sebelum memutuskan untuk pacaran. Waktu itu Anton dan aku sudah saling tahu kalau kami saling menyukai. Tapi kami sama-sama belum berani mengambil keputusan untuk pacaran. Kami sudah cukup saling kenal waktu itu (cukup, untuk ukuran masa pedekate). Tapi masih ada beberapa hal prinsip dan penting yang kami belum saling tahu. So, waktu itu kami memutuskan untuk saling mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi pijakan terakhir, sebelum kami memutuskan, akan pacaran atau tidak. Inilah daftar perntanyaan kami waktu itu:
1. Apakah keberadaannya (calon pasangan) membawa aku makin dekat dengan Tuhan?
2. Apakah keberadaannya (calon pasangan) membuatku maksimal dalam pelayanan sekarang?
3. Apakah aku bisa bertahan hidup bersamanya (dalam kondisi apapun) sepanjang umurku?
4. Apakah aku siap menerima dia, seburuk apapun nanti?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah mudah. Tapi sekarang aku bersyukur, pertanyaan-pertanyaan itu sampai sekarang (dan akan selalu) menjadi dasar komitmen kami. Kalau kami bertengkar, dan seems no way out, kami ingat lagi pertanyaan-pertanyaan itu. Memang pertengakaran nggak langsung beres. Tapi setidaknya kami diingatkan lagi, apa yang sedang kami perjuangkan dan jalani sekarang ini. Kami nggak hanya sedang cinta-cintaan, pacaran, runtang-runtung berdua. Komitmen awal kami mengingatkan: hubungan kami nggak akan selalu penuh bunga, tapi juga banyak duri. Meskipun ada saat hati kami saling berjauhan karena ada masalah, tapi kami percaya ada Tuhan yang selalu mengikat kami. Pacaran, menikah, bukan melulu tentang cinta. Ini tentang melakukan kehendak Tuhan dalam hubungan pacaran kita, dan kelak dalam pernikahan kita.
So, untuk semua yang sudah, sedang, dan akan bergumul tentang ini, jangan sepelekan pergumulan ini. Jangan sia-siakan hidupmu dengan hubungan-hubungan yang nggak jelas. Bersandar dan berserahlah pada Tuhan. Ini soal masa depanmu, seumur hidupmu! God bless u all!
Done Giving A
6 years ago