Saturday, March 26, 2011

Live happily ever after

Sejak kecil aku gemar sekali membaca. Buku setebal apapun, mampu kulahap dalam waktu singkat. Kalau sudah ada buku di depan mata, aku akan membacanya sampai tuntas. Lupa makan, lupa mandi, lupa tidur hehehe...Mungkin kebiasaan itu juga yang membuatku harus menderita minus 4 sekarang ini, karena aku sering membaca sambil berbaring.

Di masa kanak-kanak aku sangat menikmati berbagai cerita dongeng. Kalau diingat-ingat lagi, hampir semua cerita dongeng itu bertema sama: pada akhirnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Tak lupa pula bumbu percintaan yang selalu menjadi bagian menarik dalam dongeng-dongeng itu. "And they live happily ever after", begitu bunyi kalimat wajib dalam akhir semua cerita dongeng. Secara tak sadar, itulah mimpi yang ditawarkan sekaligus dibentuk sejak seseorang masih kecil.


Betapa ironis, ketika kenyataan hidup sering bertolak belakang dengan kisah dongeng. Kisah cinta dua insan tidak selalu -bahkan tidak mungkin- bahagia selamanya. Dongeng-dongeng mengisahkan bagaimana perjuangan sang pangeran mendapatkan sang putri. Perjuangan dan kesulitan itu berhenti ketika mereka sudah bersatu, dan mereka akan hidup bahagia bersama-sama. Namun tidaklah demikian dengan kisah kita. Perjuangan tidak berhenti ketika seorang pria dan perempuan sepakat untuk pacaran, atau bahkan menikah. Karena dalam realita, kesulitan dan tantangan yang sesungguhnya justru datang ketika sepasang manusia tengah berjalan bersama.

Ada kalanya mereka mengecewakan, melukai, dan menyakiti pasangannya, entah dengan sengaja atau tidak. Ada kalanya, dalam kondisi terluka itu, seseorang mungkin membenci pasangannya. Ada pula saat-saat ketika mereka merasa lelah dan putus asa, karena dalam benak mereka sudah tertanam impian "live happily ever after". Kalau saling cinta, seharusnya bahagia. Kalau saling sayang, seharusnya tak perlu berselisih paham. Berbekal impian semu itu, tak sedikit pasangan yang menyerah, lalu mencari kisah lain, yang seirama dengan asa mereka.

Sayangnya, dongeng tetaplah dongeng, dan realita adalah realita. Selama kita menapaki dunia fana ini, kita berkawan dengan realita, bukan dongeng. Maka tak pernah ada kisah yang ditutup terlalu awal. Segera sesudah komitmen bersama didengungkan, masih banyak lembaran yang menanti. Lembaran itu tak selalu berwarna cerah. Noda-noda gelap nan kelam siap menyambut.

Wahai para pecinta, bahagia bukanlah tujuan.
Mencintai tak selalu identik dengan mendapatkan, tapi mungkin diambil.
Mencintai tak selalu berbuah tawa, namun mungkin tangisan.
Mencintai tak selalu memberi, tapi juga melukai.
Karena ketika diambil, ada pengorbanan.
Ketika menangis, ada belaian lembut.
Ketika terluka, ada balutan.

Kututup tulisan ini dengan kisah tentang dua ekor landak di musim dingin. Satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan mendekatkan diri supaya bisa saling menghangatkan. Namun, jika berdekatan, pasti saling melukai dengan duri-duri yang ada di sekujur tubuh mereka. Pilihannya adalah: bertahan hidup atau terluka? Tak mungkin hidup mencintai tanpa sedikitpun melukai. Paradoks yang aneh itu memang diizinkan Tuhan terjadi dalam realita hidup manusia. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya ~ Ams: 27:17 ~


To love is to sacrifice.
Are you ready?


1 comment:

Anonymous said...

ga siaaap, aku ga siaaap.
to love is to sacrifice or to love is to let go?
oh no-no i'm not ready yet.
but i will.
and i'm preparing........