Monday, December 28, 2009
Lessons I learnt (Part 1)
Tahun 2009 sudah tinggal beberapa hari...
Waktu juga berjalan cepat, untuk umurku :) Sudah seperempat abad lebih satu tahun hehehe..
Setahun ini, banyak hal yang kualami. Tapi kurasa aku hanya akan men-sharing-kan beberapa saja.
Lesson 1: RencanaNya bukan rencanaku
Awal tahun lalu, bahkan sampai dua bulan lalu salah satu fokus pikiranku adalah: STUDI LANJUT. Ya, sebagai seorang dosen, aku punya kewajiban sekaligus kesempatan untuk studi lanjut. Karena aku masih belum menikah, tentu aku memilih untuk studi di luar negeri. Belajar di luar negeri, itu angan-anganku sejak dulu. Saat melihat foto atau mendengar kabar teman-temanku yang sekolah di luar negeri, aku selalu berharap supaya suatu saat aku punya kesempatan seperti mereka. Sekarang kesempatan itu terbuka lebar di depan mata. Aku senang sekali. Aku pun mulai menyusun puzzle masa depanku.
Berbagai persiapan mulai kulakukan. Selain cari info sekolah dan tes TOEFL, aku juga mulai mempersiapkan hati. Maklum, sekolah di luar negeri berarti akan berpisah dengan semua orang yang kusayangi di sini. Buat aku yang belum pernah menetap di luar Surabaya, tentu itu tidak mudah. Risiko long distance relationship dengan pacar pun sudah mulai dibicarakan. Berbagai strategi komunikasi supaya hubungan kami tetap lancar juga sudah direncanakan (maklum, orang komunikasi hehehe...). Pokoknya tinggal beberapa langkah, impianku untuk menuntut ilmu di negeri orang akan tercapai.
Sampai suatu hari...sebuah pertanyaan mengejutkan mengusik rencana-rencana masa depanku. Pertanyaan itu adalah apakah aku bersedia dicalonkan untuk menjadi ketua jurusan (kajur)? Begitu pertanyaan itu dilontarkan, seolah ada sesuatu yang memorakporandakan puzzle yang sedang kususun. “Aku...aku mau sekolah!” Aku masih ingat jelas kalimat pertama yang keluar dari mulutku waktu itu. Aku tahu, di UK Petra, kalau seseorang memegang jabatan sambil studi lanjut, maka studi lanjutnya harus di dalam kota.
Lagipula, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang kajur! Bagiku, menjadi sekjur itu sudah melebihi bayanganku waktu aku melamar di UK Petra. Tak punya bayangan, tak punya kemampuan, dan di atas semua itu: aku ingin sekolah, DI LUAR NEGERI. Seperti teman-teman dosen lain, yang punya kesempatan menimba ilmu di luar sana.
Hari demi hari berlalu, aku berharap pertanyaan tadi hanya sebuah mimpi. Tapi apa daya, pertanyaan itu serius, dan jawabanku juga ditunggu. Aku mulai menjerit kepada Tuhan. “Tuhan, ini apa? Kenapa tiba-tiba ada hal seperti ini? Tuhan aku pingin sekolah di luar, itu impianku...” Aku menangis saat membayangkan susunan puzzle yang tinggal beberapa piece saja.
Saat itu pertanyaan lain diajukan kepadaku. Pacarku sendiri yang menanyakannya.
“Apa tujuanmu sekolah di luar negeri?”
Aku heran mendengar pertanyaan itu. Such a stupid question!
“Ya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, aku kan dosen? Dosen kan minimal S2.”
“Kenapa harus di luar negeri?”
“Ya kan kalau lulusan luar negeri ilmunya lebih banyak dan luas.”
“Selain itu?”
Pertanyaan itu bagaikan godam. Sesaat aku terdiam.
“Karena itu impianku...”
“Dengan sekolah di luar negeri, apa visi Tuhan untukmu?”
Aku terdiam lagi....Sekolah di luar negeri itu angan-anganku, impianku. Lebih jelas lagi? AMBISIKU, OBSESIKU!!! Kalau ditanya tentang visi Tuhan, tentu aku tidak bisa menjawabnya. Wong jelas ini visi pribadiku.
Singkat kata, setelah melalui proses pergumulan yang cukup panjang dan sulit (untukku), aku menyanggupi pencalonan itu. Dan di sinilah aku sekarang. Menjadi seorang Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi. Bukan menjadi calon mahasiswa Hong Kong Baptist University, seperti impianku beberapa bulan lalu.
Satu hal terbesar yang kupelajari dari proses ini: ALLAH sungguh BERDAULAT. Aku yakin, tak seorangpun di sekitarku -bahkan aku sendiri- yang pernah membayangkan aku akan tetap ada di Indonesia, sekolah di Surabaya, menjadi seorang kajur. Tuhan membalikkan rencana-rencanaku semudah orang membalikkan telapak tanganNya. Dia seakan menunjukkan kepadaku WHO’S THE REAL BOSS!! Bukan aku, tapi Dia! Geli rasanya kalau membayangkan rencana-rencanaku dulu, yang kurasa sudah tersusun rapi dan sempurna.
Melalui pergumulan ini, aku kembali ‘dihajar’ Tuhan. Siapakah aku ini di hadapanNya? Apakah rencana manusia yang terbatas dibanding rencanaNya yang sempurna? Aku ini bukan apa-apa. Aku hanyalah ciptaan yang harus tunduk pada Pencipta yang berdaulat penuh. Semula aku protes, aku merasa rencanaku terlihat ‘baik’ bagiku. Hei! Sekolah di luar negeri itu suatu hal yang baik bukan? Tapi ternyata Tuhan sudah menyediakan yang terbaik bagiku, dan aku percaya itu. Meski saat ini aku belum bisa melihat jelas apa yang indah di depan sana.
Menjadi seorang kajur sama sekali tidak gampang. Aku masih muda, penuh kelemahan, kekurangan, jauh sekali dari gambaran ideal seorang pemimpin, apalagi pemimpin sebuah jurusan di universitas. Jauh! Aku juga tahu, jalan di depanku tidak akan mulus-mulus saja. Bahkan belum resmi menjabat saja sudah banyak kasak-kusuk yang tidak enak tentangku. “Orang yang rela menukar kesempatan belajar demi sebuah posisi”, itu salah satu cibiran orang :)
Yah, sebagai manusia pasti lebih mudah buatku untuk jatuh. Tapi sudahlah, there’s no point to return. Aku sudah mengalami sendiri pernyataan kedaulatan Tuhan dalam hidupku. Tak ada satupun yang terjadi di dunia ini –bahkan yang terkecil sekalipun- di luar ketetapan Tuhan. Tanggungjawab ini sudah kuemban. Segala risiko, tantangan, dan kesulitan di depan harus siap aku hadapi, bersama Dia tentunya. Satu kalimat yang kupegang, diucapkan oleh Pak Gito –salah satu hamba Tuhan di gerejaku-, “Life is not about proving something, life is about glorifying God.”
Monday, December 14, 2009
Akhirnya hanya kematian...
Tadi siang, seorang mahasiswa mendatangiku, menyodorkan surat pengunduran diri. Tentu aku tidak langsung menandatangani surat itu, aku perlu berbincang dengannya.
"Kenapa mengundurkan diri?"
"Saya sudah tidak punya kemauan untuk kuliah."
Well, pernyataan itu tidak mengagetkanku. Mungkin separuh dari mahasiswaku memang sudah tidak punya lagi niat untuk kuliah. Bukan jawaban itu yang mengiris hatiku. Kami ngobrol lagi...
"Setelah keluar dari kuliah, apa rencanamu?"
"Nggak ada.."
Aku tertegun. Oke, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi mahasiswa yang mau mengundurkan diri dari kuliah. Tapi ini untuk pertama kalinya aku menghadapi mahasiswa yang tidak punya rencana apapun untuk masa depannya. Selama ini, mahasiswa yang mau mengundurkan diri setidaknya punya rencana untuk transfer jurusan atau universitas, kerja, pindah kota, dan alasan lain semacam itu. Mendengar jawabannya, aku semakin tertarik untuk mengoreknya.
"Kalau hari ini saya menandatangani surat ini, apa yang akan kamu lakukan besok?"
"Hidup, ikuti arus, bukan menentang arus..."
"Kenapa ikut arus?"
"Karena bagiku hidupku cuma akan berakhir di satu titik. Buat apa susah-susah?"
"Dan titik itu?"
"Kematian..selesai! Case closed!"
"Setelah itu?"
"Nggak ada manusia yang bisa memastikan apa yang terjadi setelah itu."
"Manusia nggak bisa, tapi ada satu yang bisa."
Dia diam, hanya tersenyum kosong...
Aku mulai mengerti, sepertinya topik iman, kepercayaan, harapan, bukan topik yang menarik buatnya. Aku mengalihkan topik pembicaraan, aku bertanya tentang keluarganya, hidupnya...
"Aku nggak mau mengemis untuk hidupku. Aku akan berusaha mendapatkan apa yang aku inginkan, tapi tidak dengan meminta atau mengemis."
"Kamu tahu bahwa ada satu hal yang tidak layak kita dapatkan, tapi diberikan pada kita? Bahkan tanpa kita memintanya?"
Dia mengangkat alis...
"That's called GRACE."
Dia terdiam sejenak....
"Kamu percaya itu?"
"Nggak!"
Aku terbelalak...
"Jadi, selama kamu hidup 21 tahun ini, jatuh bangun...apa kamu tidak merasa hidupmu adalah anugerah?"
"Nggak. Hidupku adalah perjuanganku...bukan campur tangan siapapun. Kalau aku bisa hidup sampai sekarang, itu usahaku. Anugerah itu nggak ada. Buat apa berpegang pada sesuatu yang tidak kelihatan?"
"Memang bukan kamu yang berpegang, tapi kamu yang dipegang."
Dia tertawa, sambil menggelengkan kepala.
"Kita beda dalam hal ini, Miss. Dan kita tidak akan menemukan titik temu."
Aku terdiam, menghela nafas. Aku shock, hatiku perih.
Pemuda yang duduk di depanku ini terlihat kuat, gagah, tegar. Melihat tawanya yang lebar, orang dia terlihat tak punya masalah. Tapi bagiku, dia bermasalah! Dan masalah yang dimilikinya adalah masalah terbesar manusia, dari dulu, sekarang, dan selamanya.
Aku masih berbicara beberapa saat dengannya, tapi keputusannya tidak berubah. Aku menyuruhnya pulang lagi, membawa surat pengunduran dirinya.
"Kamu bawa lagi, kamu pikirkan lagi. Sementara itu, saya akan berdoa buat kamu."
Dia tersenyum, lalu pamit pulang.
Hatiku teriris. Ada berapa orang lagi, di luar sana, yang belum mengenal anugerah, menolak anugerah, tidak ambil pusing dengan anugerah. Berapa orang lagi (setidaknya di antara mahasiswaku), yang hidup tanpa tujuan, hanya ikut arus, dan berpikir hidupnya hanya berakhir pada kematian?
Ini salah satu pe-erku. Mungkin untuk melihat fakta inilah Tuhan menempatkanku di sini.
Monday, November 23, 2009
Skripsi dan Kesetiaan Tuhan
Aku tersenyum membaca sms itu. Pengirimnya adalah salah satu mahasiswa skripsi yang kubimbing semester ini.
Kangen bimbingan?? Humm...mungkin banyak orang yang heran membaca pernyataan itu. Kebanyakan mahasiswa akan menghembuskan nafas lega ketika dosen pembimbingnya membubuhkan tanda tangan di lembar pengesahan skripsi mereka. Penderitaan dan sengsara berakhir sudah..skripsi sudah beres. Tapi proses bimbingan dengan beberapa mahasiswaku semester ini memang sungguh unik, dan akhirnya aku harus mengaku: aku pun merindukan masa-masa bimbingan itu!
Minggu lalu adalah minggu terakhir pengerjaan skripsi. Tanggal 20 November adalah batas akhir pengumpulan skripsi dalam semester ini. Yang tidak mengumpulkan tanggal 20 Nov, otomatis harus menunggu sampai semester depan lagi. Semester ini, semua mahasiswa bimbinganku menargetkan diri untuk menyelesaikan skripsi dalam semester ini. So, bisa dibayangkan...minggu lalu adalah minggu paling hectic dalam sejarah kerjaku di UK Petra (lebay nggak ya? hehehe...)
Dari tujuh mahasiswa yang aku bimbing, tiga di antaranya adalah penghuni (bukan lagi pengunjung!) tetap ruanganku selama seminggu kemarin. Aaah...ruanganku tidak lagi layak disebut kantor, tapi lebih cocok dijadikan area camping! Bagaimana tidak? Mereka membawa laptop masing-masing, seabreg buku, segudang makanan (mulai dari makanan ringan, sampai makanan berat), dan menggondol printer serta kabel olor dari rumah! Mau tahu berapa lama mereka ngendon di ruanganku? Sejak pukul 08.00-20.30!! Automatically, keberadaan mereka di ruanganku sekaligus memecahkan rekor jam kerjaku di Petra hahahaha....
Setiap hari bersama mereka, membuatku melihat dan mengenal mereka lebih dalam. Mengamati tingkah laku mereka, dari yang normal hingga yang ajaib! Selama seminggu itu, kami melakukan semuanya bersama. Berjuang bersama, stres bersama, makan bersama, menggila bersama! Sungguh, momen-momen yang tak terlupakan. Kebersamaan yang menciptakan keakraban dan kehangatan. Ketika tanggal 20 November tiba, dan tanda tangan telah kububuhkan, kami semua lega bersama.
Semua berkas skripsi sudah dikumpulkan, penat dan ketegangan sirna sudah. Mereka tinggal menunggu masa sidang...Sekarang semua boleh bernafas lega...Tapi, ada seberkas rasa rindu dan kehilangan yang tertinggal. Memang ruanganku sekarang jadi lebih sepi dan rapi. Tapi aku merindukan kebersamaan bersama mereka. Sebulan yang lalu, aku sempat mengeluh. Kupikir, bimbingan skripsiku semester ini sangatlah berat. Tantangannya begitu besar. Tapi sekarang, aku justru merasa bimbingan skripsiku semester ini sangatlah luar biasa, unforgettable!!
Yang pasti, melalui masa-masa bimbingan skripsi itu, aku diteguhkan akan satu hal: hidup manusia tidak pernah lepas dari proses. Tidak ada yang instan, yang ada pergumulan. Dan lewat pergumulan itulah Tuhan bekerja. Aku yakin, tidak ada satupun mahasiswa yang tidak berdoa untuk skripsi mereka. Aku yakin, setiap malam mereka tak pernah lepas mengucap doa kepada Tuhan. Tapi, apakah esok paginya wuuuuzzz....mereka langsung melihat tujuh rangkap berkas skripsi yang sudah selesai dan terjilid rapi? Tidak kan? Mereka berdoa, tapi Tuhan seolah 'membiarkan' mereka stres, 'membiarkan' mereka menangis, 'membiarkan' mereka jatuh sakit, 'membiarkan' printer ngadat, 'membiarkan' otak blank sehingga tak ada ide, 'membiarkan' dosen pembimbing sulit ditemui. Aaaah...Tuhan seolah 'membiarkan' semua tantangan dan kesulitan datang silih berganti. Apakah itu artinya Tuhan tidak menjawab doa mereka?
Aku yakin Tuhan mendengar setiap doa mereka, dan Ia menjawabnya melalui sebuah proses pergumulan. Proses itu panjang dan berliku. Ada air mata, tapi ada persahabatan. Ada rasa frustrasi, tapi ada penyerahan diri total kepada Tuhan. Tuhan membentuk setiap mahasiswa menjadi pribadi yang tekun, setia, dan setia kawan. Semua berjuang, berusaha menyelesaikan sampai garis akhir. Kalau ada teman yang putus asa, teman yang lain memberi semangat. Semua itu mungkin tak akan pernah muncul, tanpa ada pergumulan berat seperti skripsi.
Aku teringat lagu yang selalu dinyanyikan salah satu mahasiswa bimbinganku:
Apakah kesetiaan Tuhan hanya terbukti saat kita mencapai keberhasilan? Menurutku, kesetiaan Tuhan justru terbukti pada saat kita melewati proses panjang dan berliku.
So friends, setiap kali melewati tantangan atau pergumulan, jangan terburu-buru menganggap Tuhan tidak mendengar doa kalian. Tuhan tidak ingin kalian menjadi manusia serba instan. Tapi percayalah, Tuhan sedang memproses kalian, dan Ia setia menyertai kalian dalam proses itu.
Gbu all ^^
Monday, November 16, 2009
Secuil doaku
di darat pun di laut menderu
Tiap detik tak berhenti,
Bapa Surgawi trus menjagaku
Reff:
Ku tahu benar, ku dipegang erat
Di gunung tinggi dan samudera
Di taufan glap, ku didekap
Bapa Surgawi trus menjagaku
Mawar di taman dihiasi-NYA, elang di langitpun dipimpin-NYA
Dia tentu besertaku, Bapa Surgawi trus menjagaku
Back to Reff
Meski berjalan di lembah gelap,
gembala baik membimbingku tetap
Ku dihentar dan tak gentar,
Bapa Surgawi t'rus menjagaku
Back to Reff
Tuhan, aku berserah kepadaMu...
Wednesday, September 30, 2009
If Only...
Monday, September 28, 2009
What's Your Plan, Dear Lord? (Part 1)
Now I'm realizing how small i am...I can make lots of plan for my life, but God can change it easily! Now, I'm -once again- experiencing that my life isn't about what I want or what I dream of. Life is about God and His will, His plan!
unless the LORD keeps the city,
the watchman stays awake in vain.
(Psalm 127:4)
Wednesday, September 16, 2009
Saat Aku Merasa Kehilangan (Part II)
Perasaan itu alami 8 Agustus lalu, saat Jurusan Ilmu Komunikasi mengantarkan 71 mahasiswanya untuk diwisuda. Air mataku sempat menitik saat melihat beberapa mahasiswa yang cukup dekat denganku. Akhirnya mereka menyelesaikan satu tahap kehidupan dan melangkah menujU tahap selanjutnya.
Tapi, melewati tanggal itu, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku menjalani kehidupan sehari-hariku, masuk kantor, mengajar, mengerjakan ini dan itu...tapi ada sesuatu yang hilang. Tak ada lagi Felink yang selalu datang dengan penuh semangat, tapi sebenarnya menyembunyikan keputusasaannya. Tak ada lagi Novi si mungil yang selalu tersenyum. Tak ada lagi Jessica yang siap ndlosor di sudut ruanganku dan menggarap skripsinya di sana. Tak ada lagi Eunike yang selalu datang dengan kalimat, "Enggak kok Miss, mau tanya sebentar ae." Tapi toh akhirnya lama juga dia bimbingan hehehe..Tak ada lagi Anton makhluk pendiam dan kalem itu. Kebersamaan kami di masa-masa sulit (Bukankah skripsi tergolong masa sulit untuk mahasiswa? Hehehe..), menciptakan kedekatan yang hangat. Aku melihat dan turut merasakan dinamika hidup mereka sejak masih bersemangat, bingung, tertekan, nyaris putus asa, bangkit kembali, dan berakhir dengan sukacita saat dinyatakan lulus.
Selain mereka, masih ada lagi beberapa mahasiswa yang membuatku merasa kehilangan. Monica, Tata, Synthia, dll, meskipun mereka bukan anak bimbingku, tapi mereka cukup sering berkunjung ke ruanganku.
Mereka pernah mengisi hari-hariku, menjadi bagian hidupku. Kini mereka terbang menggapai impian masing-masing. Ada yang kembali ke kotanya, ada yang merantau ke luar negeri untuk menuntut ilmu, ada yang masih tinggal sekota, ada yang bersiap menjadi seorang istri.
Februari tahun depan, aku akan melepas beberapa anak lagi untuk diwisuda. It means, there will be another goodbye. Aaah, mungkin inilah salah satu 'nggak enaknya' jadi dosen. Aku akan tetap di sini, dan 'burung-burung' yang kuasuh suatu saat akan terbang meninggalkanku...
I miss you guys..
Monday, September 14, 2009
Saat Aku Merasa Kehilangan (Part I)
Sampai saat ini, aku masih sering sedih kalau mengingat nenek. Sering aku memimpikannya saat aku merindukannya. Setiap kenangan (barang, tempat, lagu, makanan) yang membawa ingatanku padanya, selalu membuatku menangis. Aku tak pernah melupakan kenangan masa kecilku bersamanya. Aku tak pernah melupakan kunjungan-kunjungannnya ke rumahku, saat kami sudah berpisah rumah dengannya. Aku tak pernah melupakan tahun-tahun terakhir saat dia bergulat dengan sakitnya. Aku tak pernah melupakan hari-hari terakhir, bahkan detik-detik terakhir sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Sampai saat ini, aku belum berhenti menyesal, banyak hal yang belum kulakukan untuknya. Yeah, regrets come too late. Padahal, segudang kenangan yang kumiliki tentangnya, membuatku sadar, betapa banyak yang sudah dilakukannya untukku. Minggu lalu, saat aku mengunjungi makamnya, aku sangat berharap Tuhan memundurkan waktu, sehingga aku bisa menebus setiap kesempatan yang dulu kusia-siakan atau kulewatkan.
Aku tahu, semua penyesalan dan air mataku tidak akan menghidupkannya kembali. Lagipula, aku percaya, saat ini dia sudah tenang di tangan Bapa. Hanya, sikapku sendirilah yang membuatku tak habis menyesal. Terlalu banyak kesempatan yang kulewatkan, terlalu banyak hal yang belum kulakukan untuknya.
Anton bilang, jangan sampai kami mengulangi kesalahan yang sama. Saat ini kami masih dikelilingi orang-orang yang kami sayangi, dan kami harus memakai setiap kesempatan untuk menyatakan rasa sayang kami pada mereka. Sebelum waktu berlalu cepat, dan yang tersisa hanyalah penyesalan..
Jadi, bagaimana denganmu teman? Waktu tak pernah berjalan mundur..Jangan sampai penyesalan datang saat kau sudah kehilangan yang kaucintai.
Thursday, September 10, 2009
Say NO to plagiarism!
Nah, salah satu kesalahan yang banyak dilakukan, tapi tidak disadari adalah asal comot kalimat atau tulisan orang lain tanpa mencantumkan asal sumbernya. Well, mengutip itu nggak salah sih. Itu sah-sah saja dilakukan, asal kita mencantumkan dari mana sumbernya. Kalau nggak, so pasti kita akan dicap sebagai PLAGIAT!! Dan bagi para penulis, itu sangat tidak etis, alias hina sekali. "Haram hukumnya," begitu kataku di kelas Dasar-dasar Jurnalistik. Kurasa, selain aku, pasti semua institusi pendidikan di dunia juga mengajarkan itu pada siswa-siswanya.
Sudah banyak kasus di Indonesia, maupun di luar negeri, ketika seseorang akhirnya harus dikenai sanksi karena melakukan plagiat atau 'mengambil' ide orang lain tanpa meminta izin, atau at least mencantumkan asal sumbernya. Memang, mengutip tulisan orang lain, lirik lagu, script film, atau bahkan gambar dari google atau situs lainnya, sepertinya hal sepele, dan dilakukan hampir semua orang. Tapi sadarkah kita, kalau perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan mencuri, alias mengambil tanpa sepengetahuan si pemilik. Aku sendiri harus belajar keras untuk ini. Kadang aku mengambil foto atau gambar dari internet untuk melengkapi blogku, tanpa menuliskan sumber fotonya. Well, sesegera mungkin aku akan memperbaiki kebiasaan buruk itu.
So friends, sebaiknya mulai sekarang kita belajar menghargai karya orang lain, dan menjaga kejujuran (di jurusanku, sering disebut kejujuran akademis hehe..) dengan mencantumkan sumber. Bukan hanya untuk karya akademis, tapi juga untuk semua karya kita. Tentu kita sendiri juga nggak mau kan, kalau karya kita seenaknya ditiru, dikutip, atau diambil sembarangan oleh orang lain? ;)
Selamat berkarya dengan jujur!
Monday, September 7, 2009
Nasionalis Dadakan
Hmm...sejak rame-ramenya (lagi) kasus tari pendet, terus diikuti isu pelecehan lagu Indonesia Raya, aku sudah pingin menulis sesuatu. Untuk kesekian kalinya, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia memanas. Well, aku nggak mau menambah panasnya suasana dengan mencantumkan sederet bad records tentang isu-isu yang pernah mencuat. Kali ini, yang membuatku tergelitik adalah ramainya respon masyarakat Indonesia. Yah, boleh dibilang itu wajar saja, karena bangsa ini memang selalu nomor satu dalam hal respon. Berbagai forum, baik di TV, radio, milis, blog, bahkan percakapan sehari-hari sibuk mendiskusikan kasus-kasus RI-Malay. Hasilnya? Hampir semua forum sepakat menghujat Malaysia, bahkan kemudia memlesetkan namanya jadi Maling-sia.
Oke, kenyataan bahwa Malaysia beberapa kali mengklaim aset Indonesia, memang membuat kita semua (WNI, red) jadi panas dan gemas. Tapi melihat munculnya nasionalis-nasionalis dadakan terus terang juga membuatku geli! Banyak orang yang selama ini cuek-cuek saja pada negara ini (bahkan mungkin pernah mengomel tentang Indonesia), mendadak muncul sebagai komentator-komentator andal yang mengutuki Malaysia dan menjadi pembela Indonesia. Yang ingin aku tau, apakah dulu (sebelum kasus ini terjadi) orang-orang itu sudah benar-benar mencintai Indonesia? Ada seorang temanku yang ikut memaki-maki Malaysia, tapi beberapa saat lalu waktu ada bom di Jakarta, aku masih ingat dia bilang, "Duh, bom lagi..malu aku jadi WNI!" Nah lho?
Mungkin orang-orang yang sekarang ikut mengutuk Malaysia itu dulunya bahkan nggak tau tari pendet itu dari mana, nggak pernah nyanyi lagu Indonesia Raya waktu upacara, nggak tau letak P. Sipadan&Ligitan. Pokoknya sebelum aset-aset itu diberitakan diklaim oleh Malaysia, bukankah sebetulnya banyak di antara WNI yang nggak tau, nggak peduli, nggak mau tau terhadap kekayaan alam dan budaya Indonesia? Aku pernah baca sebuah liputan tentang Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya di Majalah 'Jalan-jalan'. Resepsionis sebuah hotel di sana kaget waktu melihat reporter majalah itu. "Anda orang Indonesia pertama *selain gadis-gadis yang dibawa bule* yang saya lihat di tempat ini." Kenyataan itu membuatku terhenyak. Padahal, tidak sedikit WNI yang hobi melancong ke luar negeri (termasuk Malaysia tentunya hehehe...), tapi belum pernah menjelajahi sudut-sudut negara ini.
Aku nggak mau munafik. Aku bukan orang yang terlalu nasionalis. Aku tidak terlalu menikmati tari-tarian Indonesia (tapi aku suka lagu-lagu daerah hehehe...). Aku juga sering mengomel tentang Indonesia. Karena itu, waktu kasus Malay-RI yang terakhir, aku nggak terlalu banyak bersuara. Memang jengkel..tapi, aku lebih suka introspeksi diri. Kalau mau mengutuk dan menuntut permintaan maaf Malaysia, biarlah itu jadi tugas pemerintah. Nggak perlu asal ikut-ikutan panas dan berkoar-koar sana-sini. Kalau tahun 1963 dulu, mantan Presiden Soekarno berani meneriakkan "Ganyang Malaysia!", itu karena dia tahu betul -bahkan mengalami- bagaimana sulitnya perjuangan menegakkan kedaulatan NKRI. Tapi sekarang, orang bisa dengan mudah berteriak, "Ganyang Malaysia!" hanya karena ikut-ikutan, atau terbakar emosi semata.
Nah sekarang, daripada menghabiskan energi untuk protes sana-sini, diskusi sana-sini tentang Malaysia, bagaimana kalau kita mulai belajar mencintai Indonesia, menghargai kekayaan budaya dan alam yang diberikan pada Tuhan untuk negeri ini? Bagaimana kalau kita meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Indonesia, lalu mempromosikannya pada teman-teman kita (termasuk yang di luar negeri)?
Kita nggak perlu maju perang menghadapi Malaysia untuk membuktikan nasionalisme kita. Kita hanya perlu bersyukur untuk setiap hal (yang buruk sekalipun), yang diizinkan Tuhan terjadi di Indonesia. Okelah Malaysia salah, tapi mungkin mereka justru lebih tau potensi dan keindahan tari pendet, lagu rasa sayange, P. Sipadan&Ligitan (makanya mereka ambil), daripada kita yang orang Indonesia.
So, kalau kita belum belajar mencintai Indonesia, jangan dulu buru-buru protes kalau ada negara lain yang mengklaim kekayaan kita. Nasionalisme itu bukan sekadar kata-kata atau tindakan sesaat. Nasionalisme itu proses seumur hidup! Selamat belajar untukmu, dan untukku juga.
Monday, August 24, 2009
A part of memory
I'm sorry I haven't talked to you in so long.
I feel I've been lost....
no bearings, no compass.
I kept crashing into things, a little crazy, I guess.
I've never been lost before.
You were my true north.
I could always steer for home when you were my home.
Forgive me for being so angry when you left.
I still think some mistake's been made...
...and I'm waiting for God to take it back.
But I'm doing better now.
The work helps me.
Most of all, you help me.
You came into my dream last night with that smile...
...that always held me like a lover...
...rocked me like a child.
All I remember from the dream...
...is a feeling of peace.
I woke up with that feeling...
...and tried to keep it alive as long as I could.
I'm writing to tell you that I'm on a journey toward that peace.
And to tell you I'm sorry about so many things.
I', sorry I didn't take better care of you...
...so you never spent a minute being cold or scared or sick.
I'm sorry I didn't try harder to find the words...
...to tell you what I was feeling.
I'm sorry I never fixed the screen door.
I fixed it now.
I'm sorry I ever fought with you.
I'm sorry I didn't apologize more.
I was too proud.
I'm sorry I didn't bring you more compliments....
...on everything you wore and every way you fixed your hair.
I'm sorry I didn't hold on to you with so much strength...
...that even God couldn't pull you away."
All my love, G.
(Gareth Blake, in "Message in a Bottle" - 1999)
Tuesday, August 18, 2009
Idealis vs Realistis
Berapa kali teman-teman mendengar atau bahkan mengucapkan kalimat, "Sudahlah, kita harus realistis, jangan terlalu idealis!"?
Hm, apa sih idealis itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idealis artinya 'orang yang bercita-cita tinggi atau orang yang menyukai hal-hal yang ideal"
So, menjadi orang yang idealis seharusnya positif. Tapi kenyataannya, sekarang ini cap idealis untuk seseorang sering dikonotasikan negatif. Orang yang idealis cenderung dianggap muluk-muluk, bahkan sok suci.
Well, kalau kita mau bangun rumah seperti impian (ide) kita, so perfect seperti istana, ada kolam renang, CCTV untuk keamanan, alarm pencuri, dsb...lalu ternyata kita hanya punya uang 500juta, padahal total dana yang dibutuhkan 1 M, maka kita memang harus realistis. Jangan muluk-muluk, ada rencana-rencana yang harus dihapus, ada budget yang harus ditekan. TAPI, kalau ternyata perusahaan kita ternyata tidak memenuhi persyaratan pemerintah, lalu pimpinan sepakat mengganti beberapa data, supaya kita terlihat memenuhi syarat, itu namanya MENIPU, bukan realistis. Celakanya, kalau ada orang dalam perusahaan yang menolak melakukan itu, orang itu akan dicap idealis, dan diberi nasihat supaya lebih realistis!Jadi, dunia ini sudah terbalik!
Ironisnya, kenyataan perang antara idealisme & realita justru banyak ditemukan di komunitas Kristen.Lalu sekarang aku jadi bingung...Ini sama dengan ironi yang memprihatinkan waktu kita tahu ada hakim/jaksa yang terlibat kasus suap. Kita akan bilang, "Mau jadi apa bangsa ini kalau penjaga gawang terakhir dari hukum justru menjadi pelanggar hukum?" Nah, sekarang: mau jadi apa dunia ini, kalau orang Kristen yang harusnya jadi garam&terang, ternyata ikut larut dalam intrik-intrik dunia?Wah, saya tidak sedang membawa Anda untuk hidup di awang-awang lho! Nggak berarti orang Kristen itu anti dan terpisah dari dunia. Justru garam itu harus masuk dan larut, tapi memberi rasa! Menjadi idealis bukan berarti harus hidup di luar realita. Tapi menjadi realistis juga bukan berarti hidup ikut arus!
Tuhan sendiri tentu adalah pribadi yang paling idealis, tapi Dia juga masuk ke dalam realita! Kalau Tuhan hanya menjadi idealis, Kristus nggak perlu datang ke dunia dan berkorban di kayu salib. Sebaliknya, kalau Tuhan hanya realistis, maka manusia sah-sah saja berbuat dosa terus.
Kasih (dalam konteks ini mungkin kuberi nama 'realita') dan keadilan (idealisme) harus berjalan beriringan, bukan bertentangan.
Memang, nggak mudah menjadi idealis di tengah dunia yang terbalik ini. Tuhan bilang, kita perlu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Mengungkapkan idealisme dengan motivasi kasih. Memang harus ada yang dikorbankan: dicap sok suci, dijauhi teman, bahkan mungkin dipecat dari pekerjaan. Tapi, kalau untuk meraih sesuatu di dunia saja kita rela berkorban, tentu untuk mahkota Kerajaan Allah kita lebih rela kan? Selamat berjuang! God strengthen you..
Love never fails
Today, I was very upset to my boyfriend. Some things called pride and envy, made me mad at him. I avoided to talk with him. When he talked to me, I replied idly. Well, he realized my 'bad mood'-mode, and asked me: "What's wrong with you?" And I just give him a short answer: "I'm fine!" --well, i just wondering, why every woman always says that, instead of admit that they mad--
Hmm, shortly..he wanted to discuss about his job. He asked me about my opinion. In my 'bad mood' mode, I answered him with high tones. It didn't sound good at all. I knew that he was hurt by my attitude, but at that time..I didn't care at all!
Until in a moment, I looked at his face, and stucked by his sad and depressed face. Seemed like he said: "Why I can't get comfort, even from my beloved one?" Suddenly a huge guilty feeling slapped me! I regreted my bad attitude. My 'bad mood' mode changed into lovely mode. Then I hug him to comfort him. I felt that he was so happy and grateful for that.I realize that I can't always be a selfish woman, crowned by something called PRIDE. Why I must sulk for something that doesn't important at all? Why does it always difficult for me to lower my pride, and prefer to hurt my beloved, in the name of pride?
But today, thank God, that my love is greater than my pride. I realize that God created a couple so that they may help one another, support and strengthen one another.
Cho, maybe you will never read this note, but now I want to say sorry for my bad attitude this evening...
I luv u..
-August 14, 2009-
Monday, June 1, 2009
In Memoriam: my beloved grandmother
Sampai sekarang aku masih sedih, dan menangis tiap kali mengingat kenangan-kenangan dengan nenekku. Bukan, bukan aku tidak bisa menerima kepergiannya. Aku yakin, setiap orang yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus, akan kembali ke pangkuanNya ketika orang itu meninggal. Sekarangpun aku yakin, nenek sudah ada bersama Tuhan Yesus, bahagia di surga. Tapi, yang membuat aku selalu menangis tiap kali mengingat dia, adalah sikapku di hari-hari terakhirnya. Aku tidak memberikan perhatian terbaikku kepadanya.
Sebulan terakhir nenek memang sengaja dipindahkan dari rumahnya ke rumahku, supaya dia bisa mendapat perawatan yang lebih baik. Minggu-minggu pertama aku masih sering menyapanya, berbincang bersama. Tapi, dua minggu terakhir, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, sibuk dengan kegiatan-kegiatanku. Setiap hari aku pulang malam, pagi-pagi sudah berangkat. Aku hanya sempat menyapanya untuk pamit berangkat, dan untuk pamit tidur (karena pulang malam, dan sudah terlalu capek). Aku bahkan sempat ngomel ketika sikapnya tidak kooperatif terhadap perawatan kami. Memang, beberapa tahun terakhir ini, nenek menjadi lebih murung dan cenderung fatalis (karena kepingin segera dipanggil Tuhan). Bagiku yang masih muda ini, pikiran-pikiran seperti itu konyol dan justru melemahkan fisik maupun mental. Karena itu, aku sering jengkel ketika sikapnya tidak kooperatif. Sekarang aku menyesal, kenapa waktu itu aku kurang sabar....
Sekarang, setelah nenek sudah tiada, aku hanya bisa mengenang masa-masa yang pernah aku lewati bersamanya. Dulu, ketika aku kecil, aku sekeluarga tinggal bersamanya di rumahnya. Nenek adalah tempat pelarian sekaligus perlindungan saat orangtuaku memarahiku. Setelah kami pindah rumah, kunjungan nenek adalah saat-saat menyenangkan bagi aku dan adik-adikku. Dia sangat memanjakan kami bertiga. Baginya, kami adalah cucu-cucu kesayangan dan kebanggaan. Dia seorang wanita hebat yang jago masak dan menjahit. Mama dan aku sudah mengoleksi tiga buku resep darinya. Baju-baju mamaku di masa mudanya kebanyakan adalah hasil pekerjaan tangannya...Di masa tuanya, ketika aku mulai berpacaran dengan Anton, dan orangtuaku masih belum menyetujui hubungan kami, Nenek adalah orang yang tak pernah berhenti mendukung dan menyemangati kami. Awal tahun 2008, ketika mama sudah menyetujui hubungan kami, Nenek termasuk salah satu orang yang sangat bahagia. Waktu itu sambil berbaring, dia berkata, "Ayo, kapan meritnya? Nanti keburu nenek nggak ada..." Waktu itu aku hanya menyahutinya dengan gurauan..."Ngapain mikir gitu? Masih lama kok, dan pasti nenek masih hidup.." Tapi ternyata kehendak Tuhan memang berbeda..Tuhan memanggilnya sebelum sempat melihat cucunya menikah.
Kemarin, saat kebaktian tutup peti, aku menyanyikan lagu "Di Doa Ibuku". Lagu yang hanya pernah kunyanyikan tiga kali: saat aku wisuda, kebaktian penghiburan omanya Nia, dan kemarin. Aku tak bisa menahan tangisku dalam nyanyianku. Aku sadar, aku menjadi seperti yang sekarang pun, tak lepas dari doa-doanya...Hanya, aku masih menyesali sikap-sikap burukku padanya selama ini..Aku masih merasa belum cukup membalas kasih sayangnya padaku...
Setiap kali aku pulang dan terlalu capek, aku hanya menyapanya sekilas, sambil berpikir, besok aku akan mengajaknya ngobrol. Tapi 'besok' itu selalu tertunda menjadi besoknya lagi, besoknya lagi, sampai...tidak akan pernah ada hari esok untuknya, untuk kami...Sekarang aku sungguh menyesal.. Sepenggal lagu Ronan Keating selalu membuatku teringat padanya, dan membuat air mataku mengalir...So tell that someone that you love. Just what you're thinking of if tomorrow never comes.
So friends, tunjukkan kasih kalian kepada orang-orang yang kalian kasihi, selagi masih ada kesempatan..
Jangan tunda lagi, karena waktu kita sangat terbatas...sebelum semua terlambat dan tidak ada kesempatan lagi...
Goodbye grandma...I just want you to know that I love you so much, though sometimes i didn't show it...thanks for your love, caring, and prayer... Of course, I'm gonna miss you (oh, i miss u already..), but I know that u're saved peacefully in His arms now ..in a place that u won't feel pain anymore..in a place that full of true love and caring...
Wednesday, April 8, 2009
It's all about love. Really??
Aku bersyukur karena mahasiswi itu sungguh-sungguh memikirkan masalah pasangan hidup ini. Jujur, aku tidak setuju ketika banyak orang bilang, "Ah, ngapain anak-anak muda pusing mikirin pasangan hidupnya? Yang penting have fun aja. Toh kawin juga masih berapa tahun lagi?! Masih banyak waktu!" Bah! saya sama sekali nggak setuju dengan pendapat seperti itu. Akibat pikiran-pikiran seperti itulah yang bikin anak-anak muda zaman sekarang dengan mudah gonta-ganti pacar. Hari ini mabuk cinta sama si A, lusa sudah putus, dan bergandengan dengan si B. Fuuuh....aku sangat prihatin melihat realita seperti itu. Memutuskan untuk pacaran itu kayak memutuskan beli sandal jepit. Nggak perlu repot, yang penting sekarang suka, kalau sudah bosen, ganti yang lain.
Justru dari muda seharusnya kita udah mikir, seperti apa pasangan hidup yang kita harapkan, mulai mendoakan, mulai bertanya sama Tuhan: Tuhan mau aku cari pasangan yang seperti apa? Kalau belum juga dapet, itu mah urusan lain. God has His own time! Yang penting kita terus memperumulkannya, sambil buka mata lebar-lebar, buka pergaulan yang luas (bukan pergaulan bebas!), sambil berserah penuh sama Tuhan.
Sekarang aku jadi teringat dulu sebelum memutuskan untuk pacaran. Waktu itu Anton dan aku sudah saling tahu kalau kami saling menyukai. Tapi kami sama-sama belum berani mengambil keputusan untuk pacaran. Kami sudah cukup saling kenal waktu itu (cukup, untuk ukuran masa pedekate). Tapi masih ada beberapa hal prinsip dan penting yang kami belum saling tahu. So, waktu itu kami memutuskan untuk saling mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi pijakan terakhir, sebelum kami memutuskan, akan pacaran atau tidak. Inilah daftar perntanyaan kami waktu itu:
1. Apakah keberadaannya (calon pasangan) membawa aku makin dekat dengan Tuhan?
2. Apakah keberadaannya (calon pasangan) membuatku maksimal dalam pelayanan sekarang?
3. Apakah aku bisa bertahan hidup bersamanya (dalam kondisi apapun) sepanjang umurku?
4. Apakah aku siap menerima dia, seburuk apapun nanti?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah mudah. Tapi sekarang aku bersyukur, pertanyaan-pertanyaan itu sampai sekarang (dan akan selalu) menjadi dasar komitmen kami. Kalau kami bertengkar, dan seems no way out, kami ingat lagi pertanyaan-pertanyaan itu. Memang pertengakaran nggak langsung beres. Tapi setidaknya kami diingatkan lagi, apa yang sedang kami perjuangkan dan jalani sekarang ini. Kami nggak hanya sedang cinta-cintaan, pacaran, runtang-runtung berdua. Komitmen awal kami mengingatkan: hubungan kami nggak akan selalu penuh bunga, tapi juga banyak duri. Meskipun ada saat hati kami saling berjauhan karena ada masalah, tapi kami percaya ada Tuhan yang selalu mengikat kami. Pacaran, menikah, bukan melulu tentang cinta. Ini tentang melakukan kehendak Tuhan dalam hubungan pacaran kita, dan kelak dalam pernikahan kita.
So, untuk semua yang sudah, sedang, dan akan bergumul tentang ini, jangan sepelekan pergumulan ini. Jangan sia-siakan hidupmu dengan hubungan-hubungan yang nggak jelas. Bersandar dan berserahlah pada Tuhan. Ini soal masa depanmu, seumur hidupmu! God bless u all!
Tuesday, April 7, 2009
Pedulikah mereka?
Dulu, saat dengar lagu-lagu besutan penyanyi-penyanyi Indonesia, saya benci, tidak suka, dan risih. Bayangkan saja, siapa yang nggak risih dengan lirik lagu, "Jadikan aku yang kedua."; "Akulah makhluk Tuhan yang paling sexy."; "Cari pacar lagi.", "Kamu di mana, dengan siapa, sedang berbuat apa blabla..", dan masih banyak puluhan, bahkan ratusan lirik lagu yang liriknya sama sekali tidak membangun. Jangankan menikmati, bahkan untuk mendengarpun kalau bisa aku hindari. Tapi ya sejauh itu sih sikapku pada lagu-lagu Indonesia. Aku nggak berpikir tentang efeknya. Lebih tepatnya udah nggak mau mikir efeknya, soalnya aku yakin lagu-lagu itu nggak akan ngefek ke aku. Wong untuk dengerin aja jijik! Apalagi mikirnya! Capek!
Tapi, sebulan terakhir aku mulai berpikir lagi tentang efek negatif lagu-lagu itu. Gara-garanya, bulan lalu aku mengajak Abi *anak Pak Gito yang baru berumur 4 tahun* jalan-jalan. Kami mengunjungi salah satu toko buku terbesar di Surabaya. Kebetulan waktu itu aku juga ada janji dengan dua mahasiswa untuk bimbingan skripsi. So, daripada berlama-lama di toko buku (dan daripada aku gelap mata pada semua buku yang dipajang), aku mengajak Abi ke cafe di lantai dua. Nggak lama setelah pesan makanan, dua mahasiswaku datang. Otomatis aku nggak bisa perhatiin Abi lagi, aku harus konsentrasi bimbingan. Berhubung Anton belum datang, akhirnya aku minta Abi main sendiri dengan buku gambarnya. Aku pinjami dia spidol-spidolku. Tapi yang namanya anak kecil -apalagi yang hiperaktif kayak Abi-, pasti tidak puas mengerjakan satu jenis aktivitas. Akhirnya matanya teralih ke TV yang dipasang di dinding cafe itu. Aku ikut melirik sebentar, oh ternyata sedang tayangan kartun Mr. Bean. Okelah, nggak masalah, nggak terlalu berbahaya. Aku asyik lagi ngobrol dengan mahasiswaku. Nggak lama kemudian, ternyata tayangan Mr. Bean selesai, dan channel TV rupanya diganti. Aku sempat melirik lagi, aduh..konser musik Indonesia. Aku menggerutu pada muridku, "Malese denger lagu-lagu gini!" Mereka tertawa. Tapi ya apa daya, wong bukan di rumahku, jadi ya nggak bisa ganti channel seenaknya. Lagu berikutnya benar-benar membuatku tersentak! Aku nggak tau pasti judul lagunya, tapi yang jelas di liriknya ada kata 'bajingan', dan itu diulang berkali-kali!! Aku jadi bingung melihat ke Abi. Fyi, Abi ini termasuk sangat cerdas untuk anak umur 4 tahun. Salah satu indikasinya, dia cepat menyerap informasi dan mengulang/menirukan informasi itu. Bayangkan!! Kalau dia berkali-kali mendengar kata 'bajingan', tidakkah kata itu lama-lama akan melekat di otaknya?? Memang sih dia belum ngerti arti kata-kata itu, tapi kan tetap aja itu bukan kata-kata yang mendidik?
Sekarang aku jadi berpikir lagi tentang efek lagu-lagu Indonesia, terutama untuk anak-anak kecil. Akan jadi apa mereka, kalau otaknya dipenuhi lirik-lirik lagu macam itu?? Walaupun mereka belum mengerti apa arti kata-katanya, tapi justru di situlah bahayanya. Bayangkan kata-kata *yang bahkan untuk orang dewasa saja nggak layak* meluncur dari bibir anak-anak kecil. Mereka sekadar meniru, menyanyikannya.
Duh aduh, apa artis-artis, pencipta-pencipta lagu itu nggak mikir bahayanya lagu-lagu mereka itu ya???
*jadi inget, di tayangan TV waktu itu, si penyanyi selalu menyodorkan mic ke arah penonton pada saat kata 'bajingan' dinyanyikan. Gosh!!*
Monday, March 23, 2009
Ditegur habis-habisan
Tuhan, kudatang tertunduk malu
Engkau lihat kedalaman hatiku
Inilah aku hambaMu,
namun tujuan hidupku hanya melayani diri sendiri
Sesungguhnya ku hamba dunia,
terpikat oleh kesenangan fana,
akan harta dan kuasa, kebanggaan hati
Bri belas kasihMu, o Tuhan
Murnikanku, tekad di hatiku
Agar ku tersadar, menderita denganMu
Murnikanku, arahkan mata hatiku
Agar ku setia, padaMu...
Lagu ini diciptakan oleh Pak Gito, seorang teman yang juga salah satu hamba Tuhan di gerejaku. Ia memintaku menyanyikan lagu ini di kebaktian minggu lalu, sebagai pengantar khotbahnya. Seperti biasa, ia menceritakan padaku tentang makna lirik dan dinamika nada di lagunya. Ini bukan untuk pertama kalinya aku menyanyikan lagu ciptaannya, dan aku selalu senang tiap diminta menyanyikan lagunya. Selalu ada arti di balik setiap kata maupun nada.
Lagu yang ini pun tercipta sebagai buah dari pergumulannya. “Ini pergumulan pribadiku. Aku menangis waktu menciptakan lagu ini. Sadar kalau semua hal yang aku lakukan, bahkan yang baik sekalipun, belum tentu kulakukan untuk memuliakan Tuhan. Aku lebih sering melakukannya untuk diriku sendiri. Aku ini hamba dari diriku sendiri,” jelasnya panjang lebar. Aku tertegun mendengar ucapannya. Sekali lagi kubaca partitur yang sedang kupegang waktu itu...dan aku merasakan pergumulan yang sama. Hati yang tidak murni, kepalsuan jiwa...Sayang, setelah pelayanan di kebaktian itu, aku kembali terseret pada kesibukan kantor. Perenungan akan lirik lagu itu pun menguap. Aku tenggelam dalam rutinitasku.
Akhirnya Minggu siang kemarin, aku punya cukup banyak waktu untuk merenung. Lirik dan melodi lagu itu kembali mengusikku. Tanpa kusadari, aku menangis...tersedu-sedu. Aku tertampar oleh lirik lagu itu. Aku kembali ditegur, betapa tidak murninya hidupku selama ini. Sekalipun aku tidak membuat kesalahan, meskipun aku berusaha melakukan hal-hal baik (bahkan terbaik menurutku), aku melakukannya untuk siapa? Untuk pujian? Untuk sanjungan? Untuk kepentinganku sendiri? Atau untuk Penciptaku, Penebusku? Terngiang kembali khotbah Pak Gito minggu lalu, “Orang yang melakukan kebaikan dengan motif yang tidak murni, jauh lebih jahat dari seorang penjahat.” Mengingat kalimat itu, aku sadar, aku telah menjadi lebih jahat dari seorang penjahat.
Sorenya, di kebaktian, Pdt. Andi Halim –gembala sidangku- melanjutkan khotbahnya dari Mazmur 73:1-3. Ternyata Tuhan begitu baik. Ia kembali menegurku. “Pemazmur sadar, Tuhan itu baik bagi orang yang murni hatinya. Tapi di ayat kedua, pemazmur mengatakan bahwa ia nyaris terpeleset.” Sekali lagi aku tertampar. Saat ini, aku sudah ada di posisi yang sama dengan pemazmur: nyaris terpeleset. Aku hampir kehilangan arah, dan berjalan semakin melenceng dari apa yang Tuhan kehendaki.
Semakin aku mendengarkan khotbah kemarin, semakin aku merasa, Tuhan sedang mengarahkan kembali mata hatiku kepadaNya. Ia sedang menarik aku kembali. Satu lagi kalimat Pak Andi yang sangat menguatkanku, “Tuhan tidak melihat manusia dari target yang sudah dicapainya. Tuhan melihat respon manusia atas tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya.” Aku tertampar –entah untuk keberapa kalinya- oleh kalimat itu. Target! Itulah salah satu penyebab kelelahan dan kekacauanku selama ini. Aku, seperti si pemazmur, tergoda untuk melihat orang lain, membandingkan diri dengan orang lain, memasang target berdasarkan keberhasilan orang lain. Aku -seperti lirik lagu Pak Gito- sudah terjerat oleh kebanggaan dan kesuksesan fana. Pak Andi menguraikan sedikit tentang perumpamaan talenta. Orang yang diberi lima talenta dan dua talenta sama-sama dipuji tuannya, karena mengerjakan tanggung jawab mereka dengan baik. Bukan jumlah talenta yang diperhitungkan, tapi respon terhadap tanggung jawab yang diberikan, itulah yang dinilai.
Oh Tuhan...aku benar-benar malu..Aku sudah terlalu lama disetir oleh motivasi-motivasi yang salah. Hampir terseret ke arah yang salah. Selama ini, aku sepertinya sudah banyak melakukan hal-hal baik, selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin. Tapi itu semua ternyata berujung pada diri sendiri.
Tuhan, aku bersyukur Engkau mengingatkanku..Aku bertekad untuk kembali ke arah yang semula. Berjalan di atas rel yang Kaubuat. Aku tahu, pergumulanku melawan diri sendiri tidaklah mudah. Aku tahu, kondisi lingkungan juga tidak akan mendukungku. Tarikan ke arah yang salah itu akan terasa sangat kuat. Tapi Tuhan, dengan rendah hati aku terus meminta: Murnikanku...arahkan mata hatiku kepadaMu. Hanya Engkau yang bisa menjaga langkahku...agar tetap berjalan di jalanMu...
Thursday, March 19, 2009
3.3.3
Hm...diriku jadi mengingat-ingat lagi semua momen yang pernah kami lewati bersama (boleh dong sekali-kali saya jadi sentimentil). Dua hari lalu, kami bertengkar hebat (thank God, sekarang sudah baikan). Seperti biasa, akulah pihak yang emosional. Dulu, waktu kami baru jadian beberapa minggu, banyak yang terheran-heran..kok bisa kami jadian?!
Well, sebenarnya bukan hanya orang lain yang kaget. Aku, sampai sekarang pun masih sering takjub, bagaimana bisa seorang Anton dan Nita jadian. We are totally different! Dulu, sebelum pacaran, aku melihat Anton sebagai sosok yang super diam, tenang, bahkan cenderung dingin. Sedangkan diriku? Cerewet, gampang gupuh, dan meledak-ledak. Ah, itu baru satu poin saja...masih banyak perbedaan lain -yang sama sekali tidak terpikirkan untuk bisa disatukan-.
Sekarang, tiga tahun sudah berjalan..Mau tak mau, ada banyak perubahan yang terjadi. Anton ternyata bisa juga jadi manusia yang rame (meskipun kadang cenderung jayus..hehehe...-peace, cho!-). Nita ternyata bisa juga jadi makhluk yang adem hehehe...
Semua perubahan dan penyesuaian itu tentu tidak terjadi begitu saja. Banyak sekali momen-momen, yang waktu itu terasa begitu menyakitkan. Banyak sekali saat-saat kami (terutama aku) menjadi putus asa dan berpikir, "Bisakah ini dilanjutkan? Sampai kapan kami bisa bertahan?" Anton dan aku bukan orang yang gampang mengalah, sama-sama gengsian (gosh! kesamaan yang justru sering menyulitkan hehehe..). So, bisa dibayangkan...pertengkaran-pertengkaran kami sering dilatarbelakangi lagu "Hard to Say I'm Sorry".
Perjalanan kami selama ini memang tidak selalu mulus. Ada banyak rintangan di sana-sini. Tapi toh, kami masih bisa bertahan. Kalau dipikir secara logis, itu sebenarnya nonsense! Justru kenyataan inilah yang membuatku makin sadar. Kalau kami bisa bertahan, itu semua karena kasih karunia Tuhan. Jujur, kalau kami hanya berjalan berdua, kami pasti sudah lama hancur, hubungan ini pasti sudah lama kandas.
Dear cho, thanks for loving me just the way I am...
Tuesday, March 17, 2009
Bingung milih siapa???
Nah, sekarang masuk ke topik utama! Tentunya teman-teman sudah tidak asing dengan pemandangan di jalan-jalan beberapa bulan terakhir ini. Yup! Spanduk, poster, dan stiker yang berjejer (tanpa aturan) di sepanjang jalan raya. Terpampang wajah-wajah tak dikenal, dengan lambang partai, nomor pilih, dan slogan-slogan yang terkesan menjanjikan. Tapi jujur saja, sampai sekarang...ketika Pemilu Legislatif sudah di depan mata (tiga minggu lagi!), saya masih tak bisa mengingat nama caleg, partai, dan nomornya. Saya jadi bingung, mau milih siapa tanggal 9 April nanti? Bukannya saya nggak mau milih. Saya mau menggunakan hak suara saya. Tapi gimana mau milih, kalau calonnya saja saya tak ingat. Dan bukannya saya tak mau mengingat, cuman memang nggak bisa ingat!!! Di mana-mana wajah-wajah asing terpampang. Dari mana asalnya kita juga tak tahu. Yang bisa dibaca hanyalah pengakuan dan slogan mereka di spanduk atau poster. Itupun tak bisa dijamin kebenarannya kan? Ada yang mengaku asli daerah A, padahal orang-orang daerah A sama sekali tidak merasa mengenal si caleg. Yang paling konyol, minggu lalu aku sempat dengerin Suara Surabaya. Ternyata, untuk menentukan siapa jadi caleg dapil (daerah pilih) mana itu tergantung: UNDIAN!!! Gosh!! Glegarrrr (pinjem istilahnya J).
Nah, sekarang balik lagi ke jumlah caleg yang tak terhitung (karena males ngitung). Kalau yang masih muda dan sehat seperti saya saja tidak bisa mengingat, apalagi warga negara yang udah sepuh?? Mana bisa mereka menjalankan hak pilihnya dengan baik? Partainya segudang (kayaknya Indonesia adalah negara dengan parpol terbanyak sedunia - belum ngecek data sih), calegnya selaut...Gimana milihnya??
Atau...jangan-jangan...memang ada konspirasi tersembunyi yang sengaja membuat warganya banyak yang golput??? Hmm....(garuk-garuk...mikir...)...
Friday, February 6, 2009
Dilema seorang dosen
Beberapa waktu terakhir aku merasa berada di posisi terjepit di antara dua hal yang sama-sama pentingnya: KASIH dan KETEGASAN. Bergaullah dengan ratusan mahasiswa -dengan berbagai karakter dan latar belakang- kau pasti akan merasakan pergumulan yang sama. Apalagi kalau kau berada di posisi yang cukup memegang otoritas. Yah, beberapa orang mungkin menganggap -dan sebagian komentar juga sempat kudengar-, berada di posisi atas itu enak, prestisius, punya kuasa (dan beberapa di antaranya menganggap aku berubah karena itu). Tapi kalau boleh aku berkata jujur, bagian enaknya itu hanya secuil. Sedangkan tanggungjawab dan tantangannya? Jauh lebih besar dari itu!
Saat ini aku termasuk orang yang membuat beberapa kebijakan di jurusanku. Sejalan dengan itu itu, aku juga bertanggungjawab agar sistem/aturan yang ada tetap berjalan dengan baik. Tapi masalahnya, sistem/aturan adalah sesuatu yang sifatnya kaku, sementara sistem itu diciptakan untuk manusia yang sifatnya luwes. Di sinilah benturan kerap terjadi. Dan setiap orang yang bertanggungjawab sebagai pelaksana/penegak sistem akan sering mengalami dilema.
-bagi yang sudah mulai bingung dengan posting ini, silakan akhiri perjalanan anda di blog ini dan pindahlah ke situs lain yang lebih menyenangkan-
Aku sadar, dengan posisiku yang sekarang, aku akan sering menerima protes dari banyak orang. Lebih dari itu, mungkin rasan-rasan dan akhirnya kebencian. Tidak semua bisa menerima suatu kebijakan atau aturan tanpa protes. Dan ketika berhadapan dengan protes-protes itu, dilema terbesarpun muncul. Sebagai manusia, aku ini termasuk orang yang nggak tega'an. Pingin rasanya menghindarkan si mahasiswa dari kesulitan atau hukuman. Apalagi, aku sebenarnya punya karakter sanguin, yang cenderung ingin menyenangkan semua orang. Tapi itu jelas nggak mungkin. Apalagi sebagai pendidik, aku nggak bisa sekadar menyenangkan mahasiswa. Seorang pendidik tidak boleh hanya mengelus dan membelai, tapi adakalanya harus menegur dan menghajar.
Satu hal yang pasti, dalam kebijakan atau keputusan apapun yang kubuat, aku sadar aku harus terus memurnikan motivasi. Apakah semua itu dibuat untuk mendidik mahasiswa? Atau mempersulit mereka? Aku yakin...kalau motivasiku benar, meskipun sekarang mereka protes, bahkan membenciku, suatu saat mereka akan tahu...apa yang sedang kulakukan sekarang ini adalah bagian dari kerinduanku membentuk mereka menjadi manusia yang lebih baik dan tangguh. Yah...semoga saja mereka mengerti.
-aku jadi merasa menjadi J sesaat, menulis blog yang suram hehehe..-
Sunday, January 25, 2009
Siap nggak?
Well, pertanyaan yang cukup menohok kan? Dan tentunya cukup mengkhawatirkan, mengingat kondisi Indoenesia ini masih carut marut di mana-mana (meskipun Wapres Jusuf Kalla yang 'tercinta' itu selalu mengatakan kalau ekonomi negara ini sedang maju, berkembang, bagus, blablabla...). Tapi jujur saja, apa Indonesia sudah siap memasuki AFTA? Apa kita bisa bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain. Oke, barang impor jadi murah, dan kita makin cinta barang impor. Tapi masalahnya, bagaimana dengan ekspor kita? Indonesia selama ini lebih banyak jadi importir ketimbang eksportir! Bagaimana jadinya kalau kita terus-menerus beli tanpa bisa jual? Itu baru dari sektor industri dan perdagangan. Bagaimana dengan pendidikan? Pariwisata? Wah, jadi sedikit pesimis deh...
Lama ngobrol tentang itu, tiba-tiba terpikir pertanyaan baru olehku. Apa caleg-caleg dan capres-capres yang seabreg itu sadar tentang ini ya? Jangan-jangan mereka malah nggak sadar (atau nggak tahu?) kalau tahun depan kita sudah masuk AFTA? Jangan-jangan goal akhir mereka hanyalah duduk di kursi jabatan, bangga, kipas-kipas dan leha-leha? Jangan-jangan....yah, memang begitulah!
Friday, January 23, 2009
Realita Kehidupan
saya belajar, ternyata memang tidak mudah bagi seorang manusia untuk mengakui kesalahannya...
saya sadar bahwa kulit muka manusia ternyata bisa menjadi ‘tuhan’ buat manusia itu sendiri..
saya melihat bahwa masih ada orang yang rela membiarkan orang lain menjadi korban untuk menyelamatkan ego dan pridenya...
Dan...
saya harus mengakui (meskipun heran), masih ada banyak Pontius Pilatus di dunia ini....
Guru atau Pacar
Bermula dari Anton cerita tentang satu masalah di kantor, dan setelah mendengar cerita itu, Nita kemudian kasih komen, "Oh..seharusnya kamu bla bla bla bla...."
Anton lalu menyahut dengan peryataan-pernyataan defensif...yang kemudian membuat Nita jadi jengkel.
Akhirnya Nita pun menyatakan protes, kenapa sih kok defense terus? Dan Anton menjawab, "Karena aku nggak suka digurui."
Hm, so that's the point! Pria tidak mau digurui karena mereka punya pride. Sikap menggurui, apalagi kalau keluar dari pasangan mereka, akan membuat mereka merasa tidak berguna, diremehkan dan dianggap tidak becus menjalani hidup.
Yeah, ini bukan untuk pertama kalinya kami ribut tentag hal ini. Tapi masalahnya, Nita sebenarnya tidak pernah bermaksud untuk menggurui atau tidak respek dan meremehkan Anton. Tapi itu refleks! Well, I'm a lecturer, rite? Kebiasaan yang sudah mendarah daging adalah bicara tentang benar salah. Kalau ada sesuatu yang tidak semestinya, Nita akan cenderung langsung menyatakan bahwa itu salah, yang benar seharusnya begini. Itu natur, tanpa ada maksud untuk menggurui.
Masalahnya, kebiasaan itulah yang tidak bisa diterima oleh Anton. Dia pria, dan dia lebih suka diberi pertimbangan daripada diberitahu mana yang salah dan mana yang benar.
Jadi? Hehehe...kami sudah baikan sih...cuman memang kami mesti terus belajar saling memahami lagi, saling menerima juga...hehehe...
Yah, inilah yang namanya pacaran....kita selalu BELAJAR!! Semangat!
Wednesday, January 7, 2009
Hepi Nu Year!
First of all, HEPI NU YEAR to all of you!!
Hm, benernya sih masih bingung mau nulis apa, soalnya masih belum ada ide...
Humm..
Humm..
*siiiing*
tetap tak ada ide hahaha...
Ini deh, mau nulis tentang "Setan Budek". Hehehe...bukan, saya nggak mau bikin review tentang film itu kok. Tenang saja saudara-saudara...saya masih normal hehe...Saya cuma jadi makin sebal sama film-film Indonesia. Ditunggu..ditunggu...bukannya tambah bermutu, tapi tambah gila. Sama sekali tidak mencerdaskan kehidupan bangsa.
Heran sekali, sebetulnya apa sih yang ada di otak sutradara, produser, penulis naskah, dan segala antek-antek film-film itu??? Bikin film yang tujuannya sama sekali nggak jelas. Kalopun untuk tujuan komersil, jujur aja, saya rasa sudah banyak yang eneg sama tema yang itu itu aja! Sekarang setan model mana sih yang hari ini belum nongol di layar bioskop?? Mulai dari yang namanya familiar, sampai yang namanya mboh maksud!!! Semua setan se-nusantara ini udah pada diobok-obok sama sineas indonesia (mungkin kecuali wewe gombel. mungkin karena namanya kurang seksi ato ga komersil gitu).
Wuuuh...saya ini berharap, dengan datangnya tahun baru, akan ada pembaruan dalam perfilman di Indonesia. Mbok ya tema cinta, seks, dan setan itu dihapus dari peradaban film Indonesia. udah ENEEEEG tauuuuuu!!! Huh, sebal!!
Huff...tadi bingung mau nulis apa, kok sekarang jadinya marah-marah ya...hehehe..
Ya pokoknya, salah satu harapan saya di tahun ini, semoga film-film ga bermutu itu terhapuskan dari bumi pertiwi ini. MERDEKA!!